JAKARTA, HUMAS MKRI - Peran perguruan tinggi baik hari ini maupun pada masa mendatang harus berorientasi pada landasan filosofis konstitusional “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Hal ini harus pula menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan bagi perguruan tinggi, yang tak hanya bertujuan mengembangkan kemampuan akademis, tetapi juga membentuk watak dan karakter Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat. Hal tersebut disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam rangka Upacara Dies Natalis Universitas Katolik Soergijapranata ke-38, Semarang dengan tema “Integritas Ekologis” pada Kamis (6/8/2020) secara dalam jaringan (daring/online).
Dalam orasi ilmiah berjudul “Peran Perguruan Tinggi dalam Membangun Integritas Kemanusiaan dan Kebangsaan Indonesia”, Arief mengajak para peserta acara untuk mencermati salah satu tantangan besar perguruan tinggi berupa perannya dalam menjawab persoalan kebangsaan sekaligus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Menjawab hal ini, ia membagi dalam dua pemikiran besar, yakni peran perguruan tinggi tidak lepas dari adanya pergeseran kekuasan negara yang berimplikasi pada peran perguruan tinggi; dan upaya mengembalikan peran strategis perguruan tinggi untuk membangun integritas kemanusiaan dan kebangsaan yang sesuai dengan konteks zaman kekinian.
Terkait dengan aktualisasi peran perguruan tinggi dari adanya pergeseran kekuasan negara, Arief menilai hal tersebut telah terkandung dalam Pancasila dan menjadi tugas semua komponen bangsa. Untuk itu dibutuhkan peran, kolaborasi, dan sinergis segenap komponen bangsa dan bukan hanya upaya Pemerintah melalui tiga cabang kekuasaannya, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun juga telah hadir peran dari pers atau media massa, yang turut memengaruhi otoritas pengambilan kebijakan negara.
“Berdasarkan pandangan Teori Pers Bebas, tujuan pers adalah melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Maka konsekuensi ini menjadikan pers sebagai bagian dari Pilar Kekuasaan Keempat. Sejalan dengan ini, turut hadir pula organisasi massa atau LSM yang kemudian kian mereduksi kewenangan tiga cabang kekuasaan negara yang telah ada dalam pemerintahan demokrasi,” ucap Arief dalam acara yang juga turut diikuti oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo; Rektor Unika Soergijapranata Ridwan Sanjaya; Ketua, Sekretaris, dan Pengurus Yayasan Sandjoyo; para Ketua dan Anggota Senat Unika Soergijapranata’ serta para pengajar, dosen, dan mahasiswa Unika Soergijapranata.
Warganet, Pilar Kelima
Lebih lanjut, Arief mengulas bahwa melalui ruang-ruang virtual sebagai konsekuensi dari perkembanan teknologi, maka terjadi pulalah dinamika baru dalam ketatanegaraan bangsa Indonesia. Keberadaan media massa berbasis internet telah menghadirkan media sosial dan warganet atau netizen sebagai kekuatan baru yang turut memengaruhi kebijakan bangsa dan negara. Mengutip pemikiran Michael Hauben, Arief mengatakan bahwa seseorang tak lagi hanya memiliki identitas kewarganegaran, melainkan memiliki identitas sosial pada dunia internet. Sejalan dengan perkembangan ini, Arief mengonfirmasi pendapat Geoff Livingston yang mengatakan bahwa media sosial telah mengambil peran dalam percampuran media sehingga layak disebut sebagai Kekuatan atau Kekuasaan Kelima. Bermodalkan saling berbagi konten media sosial, warganet dapat menggalang kekuatan untuk menggerakkan opini massa. Dalam berbagai bidang kebijakan, kekuatan ini ikut mempengaruhi kebijakan negara, apalagi dengan adanya figur pemengaruh (influencer) di media sosial, yang memiliki kekuatan memengaruhi pengikutnya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
“Maka fenomena kekuatan luar biasa media sosial menunjukkan bahwa hari ini, apa yang ditampilkan di ruang virtual berpotensi membawa pengaruh besar. Pada titik ini, bukan tidak mungkin perguruan tinggi sebagai moral force semakin termarginalkan oleh kekuatan luar biasa yang dimiliki media sosial tersebut,” jelas Arief yang menyampaikan orasi via aplikasi Zoom di Gedung MK, Jakarta.
Atas dasar itulah, Arief menyerukan pada masyarakat akademik yang ada pada perguruan tinggi untuk mampu mengisi ruang publik virtual dengan membuat konten-konten informasi menarik dan valid berbasis kebenaran ilmiah, demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia, agama, budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa.
Dengan demikian, Arief meyakini bahwa tantangan bagi sivitas akademik di masa mendatang tersebut dapat menjadi agenda baru bagi perguruan tinggi untuk meneguhkan perannya memindai nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan ke level operasional implementatif. Melalui kemampuan berkreasi dan beradaptasi dengan kondisi serta tuntutan kemajuan teknologi informasi pada era digital dan lompatan virtual. Maka, perguruan tinggi akan dapat mempertahankan perannya dalam menjaga dan membangun integritas kemanusiaan dan kebangsaan berdasarkan Pancasila. (Sri Pujianti/LA)