JAKARTA, HUMAS MKRI - Sejak awal Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengatakan bahwa sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) bukan kewenangan Mahkamah. Hal tersebut karena MK hanya memiliki kewenangan yang diamanatkan dalam Pasal 24C UUD 1945. Demikian disampaikan oleh Wakil Ketua Aswanto dalam webinar yang bertema “Penataan Pilkada Serentak Tahun 2020” pada Senin (27/7/2020) melalui aplikasi Zoom.
Dalam kegiatan tersebut, Aswanto mengatakan, MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Ia menyebut sengketa pilkada bukan kewenangan MK, namun sepanjang belum ada pengadilan khusus sengketa pilkada masih ditangani MK. “Karena sebenarnya MK mengharapkan untuk peradilan yang mempunyai kewenangan sengketa pilkada itu adalah peradilan khusus. Kami sudah mengingatkan teman-teman, bapak-bapak di DPR kapan dibuat peradilan khusus untuk menangani sengketa pilkada ini,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Aswanto, MK berdasarkan pengalamanya yang lalu dalam menangani sengketa pilkada, selalu membuat regulasi yang menjadi dasar untuk penanganan pilkada tersebut. “Misalnya baru-baru ini kami melakukan pembaharuan terhadap peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) yakni menjadi PMK Nomor 5 Tahun 2020 tentang tahapan, kegiatan dan jadwal penanganan perkara perselisihan hasil pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota,” tegasnya.
Menurut Aswanto, meski dalam pilkada telah ada badan penanganan pada setiap tahapan, maka MK hanya mempunyai kewenangan pada tahap akhir, yakni ketika terdapat peserta pemilihan pilkada yang merasa apa yang diputuskan oleh penyelenggara tidak tepat.
Kemudian, lanjut Aswanto, MK akan tetap patuh kepada regulasi yang mengatur siapa saja yang boleh mengajukan sengketa hasil ke MK. Ia mengatakan, UU telah menentukan bahwa tidak semua pasangan calon dapat atau berhak untuk mengajukan sengketa hasilnya ke MK. Ia menjelaskan, Pasal 158 misalnya UU pilkada mengatakan bahwa ada batas persentase tertentu selisih antara yang ditetapkan sebagai pemenang dengan yang kalah yang boleh mengajukan.
Sebagai contoh daerah yang penduduknya sampai dengan 250 ribu itu selisih maksimal hanya dua persen. Apabila lebih dari dua persen, paslon tersebut tidak mempunyai kewenangan atau legal standing untuk mengajukan sengketa tersebut. “Akan tetapi, mengingat perkembangan-perkembangan selama MK menangani sengketa, di internal hakim terjadi diskusi yang sangat intens bahwa solusi itu bahwa yang dipersoalkan para pihak di dalam sengketa pilkada itu selisih. Sehingga, kalau dari awal kita mengaminkan bahwa apa yang ditentukan oleh KPU yaitu selisih lebih dari dua persen itu tidak fair,” tegas Aswanto di hadapan Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Ketua KPU Arief Budiman, Ketua Bawaslu Abhan, serta Ketua DKPP Muhammad yang juga menjadi narasumber.
Selain itu, menurut Aswanto, pada Pilkada Tahun 2020, MK melakukan pergeseran tanpa maksud mengabaikan Pasal 158 UU Pilkada. Pergeseran yang dimaksud yaitu selisih atau batas selisih yang ditentukan oleh UU. Ia mengatakan, bahwa hal tersebut harus diuji dulu oleh MK apakah benar selisih dua persen atau tidak. Menurutnya, sekalipun tidak memenuhi batas persentase, MK tetap membawa ke dalam pemeriksaan pembuktian. Menurutnya, dalam pemeriksaan pembuktian akan dibuktikan apakah memenuhi syarat atau tidak.
Dikatakan Aswanto, para pemohon dalam hal ini paslon dapat mengajukan ke MK tiga hari setelah KPU mengumumkan hasil. Namun, dalam waktu tiga hari selalu menjadi masalah. Menurutnya, banyak permohonan yang tidak dapat diterima oleh MK karena waktu pengajuan telah lewat batas waktu. (Utami/LA)