JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (15/7/2020) dengan menerapkan protokol kesehatan terkait Covid-19. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan tiga ahli yang dihadirkan Migrant Care selaku Pihak Terkait. Tiga Ahli dimaksud yakni, Sulistyowati Irianto, Ninik Rahayu, dan Yuniyanti Chuzaifah.
Sulistyowati Irianto menjelaskan norma hukum Pasal 54, Pasal 82, Pasal 85 UU PPMI. Menurut Sulistyowati, spirit dari substansi UU PPMI bersifat progresif mengakomodasi berbagai aspek perlindungan yang tidak tercantum dalam UU No. 39/2004 sebelumnya. “Ada banyak pengalaman dan realitas Pekerja Migran Indonesia yang mayoritas perempuan dalam berbagai tahapan migrasi sudah terakomodasi dalam undang-undang ini. Meskipun detailnya harus diatur melalui ruang-ruang yang masih dapat diperbaiki atau diperjelas dengan peraturan pelaksanaan atau turunan,” jelas Sulistyowati.
Dikatakan Sulistyowati, pengalaman dan realitas perempuan yang diperhitungkan oleh perumusan hukum adalah bagian dari pemenuhan standard hukum yang baik menurut kacamata yurispudensi berperspektif keadilan perempuan. UU PPMI nampak berupaya sungguh-sungguh mengatasi berbagai permasalahan yang bermuara pada cara bagaimana Pekerja Migran Indonesia ditempatkan, diproyeksikan dalam struktur budaya dan hukum sejak dari keluarga dan negara asal sampai masyarakat di negara tujuan dan pasar global.
“UU No. 18/2017 bertujuan melindungi Pekerja Migran Indonesia, di antaranya dengan cara membangun sistem dan prosedur administrasi yang murah melalui layanan terpadu satu pintu, mendorong lahirnya program pemberdayaan Pekerja Migran Indonesia purna dan memutus mata rantai banyak aktor yang mengambil keuntungan dari bisnis migrasi,” kata Sulistyowati.
Kelalaian yang menyebabkan Pekerja Migran Indonesia ditempatkan tidak sesuai dengan kontrak adalah gambaran umum yang terjadi. “Sehingga mengatur sanksi pidana terhadap kelalaian ini adalah suatu keharusan, sesuai Pasal 82 dan Pasal 85 UU PPMI. Demikian pula pengaturan mengenai deposit dalam jumlah yang dianggap besar itu, sesuai Pasal 54 UU PPMI, amat diperlukan. Karena berbagai pemulihan bagi kelalaian yang menyebabkan akibat fatal dalam berbagai bentuk, termasuk penjatuhan hukuman mati, sangat besar potensinya untuk terjadi. Bahkan sudah terjadi,” urai Sulistyowati.
Disampaikan Sulistyowati, di berbagai negara tujuan Pekerja Migran Indonesia antara lain Timur Tengah, misalnya di Uni Emirat Arab, tidak ada satu pun regulasi yang dibuat secara khusus melindungi pekerja migran yang bekerja di sektor formal seperti pekerja rumah tangga atau pekerja bangunan. UU Perburuhan di negara tersebut secara eksplisit mengecualikan perlindungan terhadap para pekerja informal ini.
Sementara itu Ninik Rahayu yang juga dihadirkan Pihak Terkait, menyampaikan bahwa UU PPMI disusun dan disahkan sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28E Ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28I Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 29 UUD 1945.
“Jaminan untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak merupakan hak bagi seluruh bangsa dan tanpa kecuali yang dijamin dalam konstitusi. Dalam proses penyusunannya, menurut saya UU No. 18/2017 menggunakan pendekatan social selling. Dalam proses ini negara mengambil peran untuk ikut campur tangan dalam pelaksanaan pengaturan dan perlindungan khususnya terhadap tenaga kerja migran,” jelas Ninik.
Ninik melanjutkan, secara filosofis UU PPMI, negara menjamin hak, kesempatan dan memberikan perlindungan bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan, penghasilan yang layak baik di dalam maupun luar negeri. Hakekat perlindungan dalam undang-undang ini adalah dalam melindungi setiap tenaga migran dari praktik perdagangan manusia, perbudakan, kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.
Selanjutnya, paparan Yuniyanti Chuzaifah, yang pernah menjabat sebagai Komisioner Komnas Perempuan. Yuniyanti menegaskan UU PPMI sebagai hasil reformasi perlindungan dari kekacauan dan tata kelola perlindungan tenaga kerja migran selama empat dasawarsa migrasi di Indonesia. “Sumber masalah migrasi karena selama periode itu terjadi supremasi pelaku bisnis pengiriman dibanding ketegasan negara. Baik berupa impunitas, minim tanggung jawab atas risiko. Kemudian isu migrasi adalah isu lintas negara tapi perlindungan di negara tujuan juga masih banyak yang minim. Sehingga ketegasan perlindungan harus sejak awal dilakukan dari dalam negeri,” ucap Yuniyanti.
Selain itu, sambung Yuniyanti, kalau dihitung sudah berapa banyak korban jiwa para buruh migran akibat buruknya perlindungan. Kematian buruh akibat buruknya kondisi kerja, dihukum mati dan menunggu hukuman mati, disabilitas, kekerasan seksual dan sebagainya. “Data yang kami catat dari Kementerian Luar Negeri yang diterbitkan pada 2019, terdapat 437 kasus buruh migran yang meninggal, 507 kasus PHK sepihak, 151 kasus perdagangan manusia, 127 kasus kekerasan majikan, 1233 kasus gaji tidak dibayar, 177 kasus hukuman mati dan lain-lain,” ungkap Yuniyanti.
Baca juga…
Modal yang Harus Disetor P3MI Dinilai Memberatkan
Pemohon Uji UU PPMI Perbaiki Permohonan
MK Tunda Sidang Pengujian UU Pelindungan Pekerja Migran
DPR: ASPATAKI Bukan Subjek UU PPMI
Tujuan UU PPMI Lindungi Pekerja Migran Indonesia
Ahli: Negara Jangan Menempatkan P3MI Seperti Musuh
Saksi: Agar Izin Usaha Tak Dicabut, P3MI Harus Setor Tambahan Deposito 1 Milyar
Untuk diketahui, Permohonan Perkara Nomor 83/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh ASPATAKI yang menguji Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU PPMI.
Pasal 54 ayat (1) huruf a dan b UU PPMI menyatakan, “Untuk dapat memperoleh SIP3MI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia harus memenuhi persyaratan: a. memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); b. menyetor uang kepada bank pemerintah dalam bentuk deposito paling sedikit Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) yang sewaktu-waktu dapat dicairkan sebagai jaminan untuk memenuhi kewajiban dalam Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Pasal 82 huruf a UU PPMI menyatakan, “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah), setiap orang yang dengan sengaja menempatkan Calon Pekerja Migran Indonesia pada: a. jabatan dan jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja sehingga merugikan Calon Pekerja Migran Indonesia tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf a”.
Sedangkan Pasal 85 huruf a UU PPMI menyatakan, “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima miliar rupiah), setiap orang yang: a. menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja yang telah disepakati dan ditandatangani Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf a”.
Diwakili kuasa hukumnya Wilman Malau, ASPATAKI memiliki anggota berjumlah 142 Perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) atau perusahaan-perusahaan yang bidang usahanya melaksanakan penempatan dan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri.
Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusional Pemohon dalam kebebasan untuk berusaha, serta ancaman pidana yang ditanggung Pemohon tidak berdasar pada perbuatan yang dilakukannya sendiri, tidak sesuai dengan asas perbuatan materiil. Perbuatan yang dilakukan pihak yang mempekerjakan pekerja migran harus ditanggung oleh para Pemohon.
(Nano Tresna Arfana/ASF/NRA).