JAKARTA, HUMAS MKRI - Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (UU 2/2020) kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020 digelar MK pada Rabu (15/7/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini diajukan oleh M. Sirajuddin Syamsuddin, dkk., yang melakukan pengujian formil dan pengujian materiil Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3, Pasal 27 serta Pasal 28 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto tersebut, Ahmad Yani selaku kuasa pemohon menyampaikan bahwa alasan pengujian formil pemohon in casu proses persetujuan DPR dalam proses Perpu 1/2020 menjadi UU 2/2020 dilakukan dalam satu masa sidang yang sama. Padahal seharusnya pengesahan dilakukan dalam “persidangan yang berikut” merujuk kepada peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Tata Tertib. Sehingga yang dimaksud “persidangan yang berikut” dapat dimaknai dari Pasal 249 yang mengatur mengenai tahun sidang dan masa persidangan. Lebih lanjut, proses penerimaan dan persetujuan yang sebagaimana diuraikan di atas bertentangan dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. “Seharusnya, apabila DPR menerima Perpu 1/2020 pada masa sidang III, maka persetujuan atau penolakan terhadap Perpu 1/2020 dilakukan pada masa sidang IV,” tegasnya.
Selain itu, berdasarkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, Ahmad Yani melanjutkan seharusnya DPD ikut membahas Perpu 1/2020. Hal ini karena isinya menyangkut UU terkait perimbangan keuangan pusat dan daerah, namun dalam faktanya, DPR membahas tanpa persetujuan DPD.
Haram Revisi
Selain itu, Ahmad Yani mendalilkan batas defisit APBN sebesar 3% sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 UU 2/2020 bertentangan dengan UUD 1945. Ia menjelaskan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah mengatur mekanisme pelaksanaan APBN dalam keadaan tidak normal atau darurat tanpa perlu mengeluarkan Perpu. Oleh karena itu, keberadaan pasal-pasal yang diujikan tidak memiliki urgensi.
“APBN tidak boleh di Perpu, bukan hanya tidak boleh, tetapi haram, dan hanya boleh direvisi dengan melalui APBN Perubahan apalagi kemudian disahkan menjadi UU melalui UU 2/2020. Sehingga alasan Covid-19 menjadi alasan kekosongan hukum karena tidak ada prosedur hukum, juga tidak terpenuhi,” ujar Ahmad Yani.
Persoalkan Imunitas Hukum
Pemohon juga mempersoalkan kekebalan hukum bagi pejabat yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020. Pasal 27 ayat (1) memungkinkan terjadinya potensi tindak pidana korupsi, karena dalam pasal itu disebutkan biaya yang dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemi Covid-19 termasuk di dalamnya kebijakan bidang perpajakan keuangan daerah dan pemulihan ekonomi nasional bukan merupakan kerugian negara. Selain itu, ketentuan tersebut mengandung rumusan norma yang memberikan perlindungan bagi mereka yang berlaku tidak adil atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan bangsa dan Negara. “Konstruksi yang demikian ini jelas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945,” jelas Ahmad Yani.
Untuk itu, dalam petitumnya, para pemohon meminta bahwa UU a quo bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan agar Pemohon memperbaiki kedudukan hukum. Ia menyebut Pemohon Prinsipal berbadan hukum diwakili oleh ketua umum dan sekretarisnya.
“Nah, ini nanti dicermati betul, apakah hal ini telah sesuai dengan mekanisme organisasi AD/ART masing-masing bahwa ketua umum, sekretaris umum, ada kadang-kadang menyebutkan bendahara umum juga, ada yang menyebut secara sendiri-sendiri atau bersamasama, supaya dicermati, supaya nanti kalau dia disebut bersama-sama, terus ada unsur yang tidak ada, nah ini menjadi persoalan di-legal standing-nya nanti,” ujarnya.
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengatakan bahwa perlu ada kecermatan mulai dari awal terutama pasal-pasal yang diujikan agar diseragamkan dari awal sampai dengan petitum. Kemudian, lanjut Daniel, dalam permohonan dibuat jadi lebih fokus sehingga tidak menyulitkan MK nantinya.
Pemohon diberikan waktu 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan selambatnya Selasa, 28 Juli 2020 pada pukul 13.00 WIB.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: Lambang S.
Fotografer: Agung Sumarna