JAKARTA, HUMAS MKRI - Lembaga Kemasyarakatan Paguyuban Warga Solo Peduli Pemilu (PWSPP), melalui kuasa hukumnya menyatakan mencabut permohonan uji materi Pasal 201A ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Perppu 2/2020).
"Karena kami sudah mengikuti perkembangan pemberitaan DPR telah menyetujui pengesahan perppu tersebut menjadi Undang-Undang, ya artinya hasil persetujuan akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI. Dengan demikian Perppu Nomor 20 akan menjadi Undang-Undang. Kemudian kami berdiskusi dengan para prinsipal sepakat untuk mencabut permohonan” kata Sigit Nugroho Sudibyanto.
Pencabutan permohonan tersebut dikemukakan Sigit melalui saluran video conference dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, dalam persidangan yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Selasa (14/7/2020). Tim kuasa hukum Pemohon secara resmi juga telah mengirim surat ke MK mengenai pencabutan permohonan.
"Terima kasih, kami pun sudah membaca (surat pencabutan permohonan). Ini untuk klarifikasi dan penjelasan langsung dari kuasa pemohon. Dan bagaimana kelanjutan permohonan saudara nanti akan kami bahas dalam Rapat Permusyawaratan Hakim. Jadi silahkan saudara menunggu perkembangan dari Mahkamah,” tegas Hakim Konstitusi Saldi Isra selaku Ketua Panel.
Baca Juga…
Warga Solo Uji Perppu Pilkada Serentak di Tengah Pandemi Covid-19
Sebelumnya, PWSPP dalam permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 44/PUU-XVIII/2020 mengajukan uji materiil Pasal 201A ayat (1) dan ayat (2) Perppu 2/2020. Perppu ini dikeluarkan karena adanya bencana Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang telah dinyatakan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) yang telah terjadi di sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Pasal 201A ayat (1) Perppu 2/2020 menyatakan, “Pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (6) ditunda karena terjadi bencana nonalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1).” Kemudian Pasal 201A ayat (2) Perppu 2/2020 menyatakan, “Pemungutan suara serentak yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada bulan Desember 2020.”
Kuasa hukum Pemohon, Sigit Nugroho Sudibyanto memaparkan, Pasal 201 ayat (1) dan ayat (2) Perppu 2/2020 menyatakan pemungutan suara serentak akan dilaksanakan pada bulan Desember 2020. Menurutnya hal ini tidak sesuai dengan kondisi negara Indonesia yang masih terpuruk karena Pandemi Covid-19.
Ia mengatakan, tidak ada kegentingan memaksa untuk tetap dilaksanakannya pemungutan suara serentak pada bulan Desember 2020. Pemungutan suara serentak pada Desember 2020 mendatang justru bertentangan dengan kebijakan pemerintah mengenai social distancing untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Menurutnya, Pilkada yang akan tetap dilaksanakan pada Desember 2020 dan tahapan Pilkada yang akan dimulai Juni 2020 di tengah pandemi Covid-19, akan berpotensi meningkatkan resiko menyebarnya Covid-19 di berbagai daerah di Indonesia. Sangat disayangkan jika Pilkada serentak tetap dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19. Seharusnya, lanjut Sigit, pemerintah memikirkan rakyat Indonesia yang saat ini membutuhkan bantuan pemerintah di tengah pandemi Covid-19 daripada membahas Pilkada serentak di bulan Desember 2020 nanti.
Selain itu, menurut pemohon, Pilkada Serentak yang akan dilaksanakan pada bulan Desember 2020 juga akan berpotensi memakan anggaran yang besar dikarenakan untuk biaya Alat Pelindung Diri (APD). Padahal di sisi lain anggaran untuk penanganan Covid-19 sudah sangat besar apalagi ditambah anggaran yang besar untuk Pilkada Serentak pada bulan Desember 2020 hal tersebut tentu akan menguras uang negara.
“Alasan pemerintah untuk tetap meIaksanakan Pilkada serentak karena Pandemi Covid-19 tidak bisa diprekdisi kapan akan berakhir. Sejumlah Negara tetap meIaksanakan pemilu lokal maupun nasional di tengah Covid-19 dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Namun, alasan tersebut tidak bisa disamaratakan dengan Negara Indonesia,” kata Sigit.
Ia menegaskan, Pemohon dan masyarakat sebagai warga negara Indonesia menginginkan Pilkada Serentak ditunda sampai pandemi Covid-19 berakhir agar Pemohon dan masyarakat Indonesia tidak khawatir akan tertular Covid-19 ketika Pilkada serentak dilaksanakan.
Berdasarkan alasan-alasan permohonan tersebut, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi agar Pilkada Serentak 2020 yang akan dilaksanakan di bulan Desember di tengah bencana non-alam pandemi Covid-19 berdasarkan Pasal 201A ayat (1) dan ayat (2) Perppu 2/2020 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, menyatakan Pasal 201A ayat (1) dan ayat (2) Perppu nomor 2 Tahun 2020 mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dimaknai tahapan Pilkada serentak dapat dilaksanakan setelah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional dicabut. (Utami/MH/NRA).