JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) akan memasuki agenda persidangan yang masif saat penanganan perkara perselisihan hasil pemilihan kepada daerah (PHP Kada). Sehingga MK harus segera mendesain ruang paralel untuk berbagai pihak guna terfasilitasinya persidangan dalam jaringan (daring/online). Demikian paparan Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam web seminar (webinar) 20 Tahun hukumonline.com bertajuk “Masa Depan Bidang Hukum dalam Menghadapi Era Normal Baru.”
“Sebelumnya MK sudah membangun sistem persidangan dengan online, namun sekarang harus dilakukan dengan masif karena adanya pandemi ini. Sebab tidak mungkin semua pihak yang berperkara hadir secara langsung ke ruang sidang karena ada protokol kesehatan yang ketat dan harus dipatuhi. Sehingga dengan adanya penyelenggaraan sidang dengan fasilitas online akan menjembatani kebutuhan persidangan di MK,” jelas Saldi dalam webinar yang turut diisi oleh pemateri seperti Hakim Agung Mahkamah Agung Sofyan Sitompul dan Pengajar STHI Jentera Bivitri Susanti.
Diakui oleh Saldi bahwa dampak dari pandemi Covid-19 sangat dirasakan oleh banyak pihak, termasuk bagi lembaga peradilan yang kemudian harus mengadaptasi berbagai hal untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya. Sebenarnya, sambung Saldi, MK sendiri adalah lembaga peradilan yang telah jauh-jauh hari melaksanakan peradilan dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Sehingga, saat pandemi ini pun bukanlah suatu hal yang rumit bagi MK untuk tetap menyelenggarakan agenda persidangan. Karena MK, hanya membutuhkan penyesuaian terbatas.
“Yang rumit hanya bagaimana suatu waktu bahwa situasi memaksa semua pihak yang harus datang ke MK tersebut harus benar-benar melakukan kegiatan persidangan secara online, lalu bagaimana kemudian MK melakukan kegiatannya dalam menjamin hak keadilan konstitusi terutama berkaitan dengan hal keamanan informasi,” kata Saldi dalam acara yang digelar pada Selasa (14/7/2020).
Transformasi Teknologi
Sementara itu, Hakim Agung MA Sofyan Sitompul dalam paparannya mengemukakan bahwa sejak Februari 2020, berbagai regulasi diluncurkan pemerintah dalam menyikapi penanganan Covid-19 yang melanda banyak negara di dunia termasuk Indonesia. Kemudian, saat ini pemerintah pun berupaya untuk terus melakukan adaptasi terhadap penanganan pandemi ini.
Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan, dalam kebijakannya memastikan pelayanan persidangan dan pengadilan tetap dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dengan aturan yang dirancang sedemikian rupa, pelayanan peradilan dapat terus dilakukan secara maksimal dengan layanan berbasis transformasi teknologi. “Diharapkan MA akan menjadi lembaga yang mengikuti perkembangan sistem teknologi informasi dengan penerapan sistem peradilan elektronik,” sampai Sofyan.
Sehubungan dengan meluasnya pandemi, jelas Sofyan, memaksa sistem e-court yang telah diselenggarakan sejak 2010 di MA kemudian harus dilakukan adaptasi dalam tatanan kenormalan baru guna pelaksanaan sistem kerja lembaga. Dengan memaksimalkan teknologi dan meminimalkan pertemuan langsung, diharapkan pengadilan khususnya perkara pidana yang harus ditangani MA dapat diselenggarakan dengan membentuk kelompok kerja untuk mempersiapkan e-court yang dimaksudkan tersebut di seluruh Indonesia.
Di masa mendatang, MA mempersiapkan peradilan pidana dengan mengutamakan asas cepat dan biaya rendah dengan didukung oleh 208 pasal untuk pedoman persidangan secara elektronik dan tetap mengedepankan asas terbuka untuk umum. Di samping itu, persidangan jarak jauh yang nantinya diselenggarakan tidak mengurangi hak para pihak dalam mendapatkan keadilan dan justru harus memudahkan para pencari keadilan untuk meraih hak-hak keadilan yang dicarinya.
Peluang Evaluasi Hukum
Berikutnya, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, dalam webinar yang dilakukan hukumonline ini, dirinya menemukan begitu banyak perubahan yg dihadapi dunia hukum tak hanya perkara di pengadilan, tetapi sampai pada pendidikan dunia hukum pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Semua bidang dipaksa beradaptasi dengan penggunaan teknologi. Namun, Bivitri mengakui bahwa dirinya kurang sependapat dengan adanya konsep new normal. Menurut Bivitri, dalam konteks hukum tidak perlu istilah new normal karena kerangka dasarnya adalah hak warga negara. Sehingga, Bivitri ingin situasi pandemi ini dijadikan momentum bagi peluang evaluasi bagi dunia hukum, mulai dari kerangka hukum, pemenuhan hak, dan kelembagaan.
Dalam konteks kerangka hukum, Bivitri mencermati perlu adanya evaluasi terhadap undang-undang yang dibuat dalam keadaan bahaya dan kegentingan memaksa baru-baru ini. Padahal, sambung Bivitri, Indonesia telah mempunyai undang-undang terkait seperti UU Kekarantinaan Kesehatan dan lainnya. Dalam penilaiannya, respons pemerintah dalam penanganan masalah ini dalam hal pemenuhan hak warga negara cukup lambat, baik keterlambatan dalam kebijakan dan birokrasi.
“Intinya ketika mengkritik pemerintah, tidak ada pemerintah yang siap dengan kondisi saat ini karena parameter yang dipakai adalah pemerintahan yang responsif, yaitu kebijakan publik bekerja dalam ranah etik dan berdasarkan data. Namun, setidaknya ada koordinasi pusat dan daerah serta adaptasi teknologi di pengadilan dan aspek kelembagaan negara lainnya. Sehingga semua pihak harus melihat momentum pentingnya penggunaan data dalam membuat kebijakan yang bermuara pada pemenuhan hak warga negaranya,” jelas Bivitri. (Sri Pujianti/NRA).