JAKARTA, HUMAS MKRI - Suretyship adalah lini usaha umum yang memberikan jaminan atas kemampuan prinsipal sesuai perjanjian pokok dengan obliged. Dengan merujuk hal ini, maka kegiatan ini memenuhi kegiatan unsur perjanjian pokok dan ada penerima jaminan yang lebih mencerminkan usaha penjaminan dibandingkan usaha perasuransian. Maka pelaksanaan dari lini usaha suretyship semestinya tunduk pada ketentuan UU Penjaminan. Sehubungan dengan dalil bahwa pasal perasuransian membatasi lini perusahaan asuransi, DPR menilai tidak perlu adanya penambahan frasa “hanya dapat” pada UU Perasuransian karena di dalamnya mengatur usaha perasuransian termasuk mengenai usaha suretyship.
Hal tersebut dikatakan Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (13/7/2020). Terhadap permohonan Perkara Nomor 5/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) ini, Arteria mengungkapkan bahwa layanan jasa perasuransian semakin bervariasi, termasuk adanya perluasan ruang lingkup jenis layanan jasa keuangan pada produk asuransi. Perluasan ini harus memperhatikan beberapa hal, yaitu memenuhi asas spesialisasi usaha, relevan dengan bisnis utama, dan terbatas pada variasi lini usaha/produk. Berdasarkan aturan OJK tentang penyelenggaraan perusahaan asuransi, perluasan hanya dapat melakukan perluasan berbasis imbalan jasa, kegiatan usaha asuransi kredit dan suretyship, dan berdasarkan penugasan pemeritah.
Bukan Kepentingan Publik
Sehubungan dengan kedudukan hukum Pemohon, Arteria menyatakan bahwa Pemohon yang merupakan badan hukum dari perkumpulan, pada prinsipnya hanya mewakili kepentingan anggota dan bukan kepentingan umum atau publik. DPR menilai Pemohon adalah badan hukum privat yang mewakili kepentingan anggotanya. Dengan demikian, DPR berpandangan, Pemohon telah jelas tidak memiliki hak konstitusional.
Di samping itu, DPR mencermati bahwa UU a quo tidak memberikan pengaturan pada asosiasi untuk melaksanakan ketentuan dari norma yang didalilkan dan keberlakuannya pun tidak berdampak pada perkumpulan. Sebagai sebuah perkumpulan, Pemohon tidak bisa mengeluarkan produk suretyship. Sesuai dengan UU Perasuransian, Pemohon harus mendapatkan persetujuan tertulis dari OJK, sedangkan Pemohon tidak menguraikan persetujuan ini.
“Oleh karena itu, Pemohon harus membuktikan hal tersebut. Maka pasal a quo tidak berdampak apapun dan tidak miliki kewenangan, maka tidak terdapat hak dan kewenangan konstitusional yang dirugikan dengan keberlakukan UU a quo,” jelas Arteria terhadap permohonan Pemohon yang mendalilkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian bertentangan dengan UUD 1945.
Perbedaan Politik Hukum
Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti dalam keterangannya selaku Ahli yang dihadirkan Pemohon pada sidang ini menyatakan bahwa ruang lingkup perluasan asuransi yang terdapat dalam UU Perasuransian dan Peraturan OJK hanya ditujukan untuk mewujudkan politik hukum. Peraturan OJK merupakan ketentuan pengecualian dengan adanya prasyarat berupa kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, sambung Susi, pada ketentuan UU Perasuransian tidak disebutkan mengenai kriteria kebutuhan masyarakat dan hanya ditentukan penilaian OJK.
“Maka keberadaan layanan asuransi sangat bergantung pada ketentuan diskresi tunggal dari OJK. Bahkan UU juga tidak memberikan sejauh apa perluasan itu dilakukan, pendelegasian sejenis ini bisa dikategorikan sebagai pendelegasian blanko yang secara normatif dilarang untuk dilakukan berdasarkan UU Nomor 12/2011,” jelas Susi.
Sehubungan dengan perluasan ruang lingkup usaha asuransi sebagaimana disebutkan dalam pasal a quo, Susi melihat bahwa pendelegasian dalam UU Perasuransi sedapat mungkin dihindari terutama jika materi yang berkaitan dengan hak-hak warga negara. Demi menjaga ketertiban hukum, Susi melihat perlu adanya pengaturan yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah dengan mencantumkan pokok pengaturan yang penting terlebih dahulu, seperti kejelasan makna kebutuhan masyarakat, kriteria perluasan yang diperkenankan dilakukan, dan metode evaluasi yang perlu dilakukan.
“Materi muatan delegasi acapkali berdampak luas pada kesejahteraan masyarakat, bila hal ini semacam ini dibiarkan maka Mahkamah perlu untuk menegakkan kejelasan ini yang merupakan undang-undang organik yang pembentukannya langsung diperintahkan oleh UUD 1945,” pendapat Susi.
Baca Juga:
Status Usaha Suretyship Tidak Jelas, Asosiasi Asuransi Gugat UU Perasuransian
Pemohon Uji UU Perasuransian Pertegas Argumentasi Kedudukan Hukum
Peran Pemerintah Mendorong Kapasitas Asuransi
DPR Kembali Berhalangan Hadir, Sidang Uji UU Perasuransian Ditunda
OJK: Lini Usaha Suretyship Boleh Dilakukan Perusahaan Penjaminan maupun Asuransi
Sebagai informasi, menurut Pemohon norma yang dimohonkan pengujian di MK ini tidak secara tegas menyebut lini usaha suretyship sebagai perluasan usaha asuransi. Pelaksanaan suretyship hanya didasarkan pada norma tersebut yang memberikan wewenang kepada OJK untuk melakukan perluasan ruang lingkup. Dalam pandangan Pemohon, hal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pemohon mendalilkan pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekutan hukum sepanjang tidak dimaknai “mencantumkan suretyship sebagai perluasan jenis usaha asuransi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” Sebelum menutup persidangan, Anwar mengatakan sidang berikutnya akan dilakukan kembali pada Rabu, 5 Agustus 2020 dengan agenda mendengarkan keterangan dari Ahli dan Saksi Pemohon. (Sri Pujianti/RA/NRA).