JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) pada Kamis (9/07/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 41/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Taufik Surya Dharma yang merupakan mantan Pengurus PT. United Coal Indonesia (PT UCI) yang sudah dinyatakan pailit melalui putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Tahun 2015 silam.
Dalam sidang dengan agenda perbaikan permohonan ini, Heru Widodo selaku kuasa hukum Pemohon menerangkan, Pemohon mempertajam identitasnya yang mana penekanannya pada “Pemohon mengajukan sebagai perseorangan yang tidak lagi mempunyai hak mengurus” sebagaimana diuraikan pada halaman lima poin 2.3, 2.4 dan seterusnya. Heru menyebutkan, terdapat penekanan pada poin 2.5 halaman 6 yaitu hapus atau hilangnya hak untuk mengurus PT UCI dalam kondisi pailit berdasarkan pada penjelasan kepailitan, yaitu ketentuan pasal 24 UU Kepailitan dan mengacu pada Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/RT) khususnya pasal 10 angka 8b.
Berikutnya, pada alasan permohonan, Pemohon merekonstruksi permohonan. Semula Pemohon mengujikan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP. Kemudian pada perbaikan permohonan menjadi Pasal 32 ayat (2) UU KUP.
Baca Juga…
Terbebani Tagihan Pajak Perseroan Pailit, UU KUP Diuji
Pada Sidang Pendahuluan yang dipimpin oleh Hakim Konsitusi Daniel Yusmic P Foekh, Heru Widodo mengatakan Pemohon keberatan dengan berlakunya Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP. Menurut Pemohon, kedua pasal tersebut telah dijadikan dasar oleh Kantor Pelayanan Pajak Besar Satu Jakarta Selatan (KPP Wajib Pajak Besar Satu) untuk melakukan penagihan pajak PT. UCI yang dibebankan kepada Pemohon secara pribadi dengan jumlah yang sangat fantastis sebesar Rp193.625.721.483,00. Hal ini terjadi hanya karena NPWP Badan atas nama PT. UCI (dalam pailit) belum dihapus. Padahal, perusahaan tersebut sudah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan seluruh boedel harta pailit dilakukan pemberesan oleh Kurator.
Dikatakan Heru, keberatan Pemohon semakin beralasan, selain dibebani tagihan pajak atas perseroan yang sudah pailit, Pemohon mendapat surat dari KPP Wajib Pajak Besar Satu yang isinya berupa perintah untuk memberikan kuasa kepada bank BCA Kuningan untuk memberitahukan saldo harta kekayaan penanggung pajak yang tersimpan pada bank atas nama Pemohon pada 26 Desember 2019. Hal ini berdampak harta pribadi Pemohon terancam diambil paksa untuk melunasi hutang pajak perusahaan PT. UCI. Padahal pada saat pengurusan boedel pailit PT. UCI, permohonan pembagian dari KPP Wajib Pajak Besar Satu telah dikabulkan oleh hakim pengawas dan utang pajak tersebut telah dibayarkan oleh kurator yang besarnya sesuai penetapan hakim.
Selain itu, tuntutan mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta pailit sudah sepatutnya ditujukan kepada kurator, bukan kepada Pemohon. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 26 ayat (1) UU 37/2004 yang menyatakan tak terkecuali tuntutan terhadap pengurusan dan pemberesan harta pailit untuk menyelesaikan utang badan perseroan seperti utang pajak. Apalagi keberadaan kurator pada hakikatnya, memang diposisikan sebagai penanggung pajak sekaligus wajib pajak badan yang telah dipailitkan. Sesuai dengan pengertian yang tertulis dalam Pasal 1 angka 3 UU 28/2007 yang menyatakan, “Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”. (Utami/AL/NRA).