JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) pada Senin (6/7/2020). Pemohon perkara Nomor 22/PUU-XVIII/2020 ini adalah Anwar Hafid yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) selaku Pemohon I serta Arkadius Dt. Intan Baso yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat selaku Pemohon II.
Dalam sidang dengan agenda perbaikan permohonan ini, Salman Darwis selaku kuasa hukum Pemohon menerangkan, bahwa para pemohon telah memperbaiki permohonan sesuai dengan nasihat hakim pada sidang pendahuluan. Adapun permohonan yang diperbaiki yakni terdapat penambahan pemohon dua orang menjadi empat orang pemohon. Selain itu, Pemohon juga memperkuat kedudukan hukum. “Untuk jabatan anggota pemohon I dipertajam. Pada pokok permohonan, pemohon membedakan sisi jabatan politik dibedakan antara legislatif dan menteri,” jelas Salman.
Baca juga: Hendak Maju dalam Pilkada, Anggota Dewan Uji Ketentuan Pengunduran Diri
Sebelumnya, Para pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 7 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3) dan Pasal 28H Ayat (2). Pemohon menilai secara konseptual anggota DPR, DPD, DPRD dan jabatan kepala daerah merupakan satu kesatuan rumpun jabatan yaitu "jabatan politik" sehingga anggota legislatif yang berkeinginan atau mendapatkan amanah dari rakyat untuk mencalonkan diri dalam jabatan kepala daerah seharusnya tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf f UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (Utami/Fitri/LA)