JAKARTA, HUMAS MKRI –Imam Santoso yang meninggal dunia beberapa waktu yang lalu itu bukan Ki Gendeng Pamungkas. Hal tersebut disampaikan oleh Julianta Sembiring, kuasa hukum Ki Gendeng Pamungkas (Pemohon), saat menjawab pertanyaan Ketua Panel Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (6/7/2020).
Sidang digelar dengan menerapkan protokol kesehatan terkait Covid-19. Panel Hakim MK dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra yang didampingi Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Permohonan perkara yang diregistrasi Nomor 35/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Ki Gendeng Pamungkas. Pada persidangan kali ini, Saldi Isra meminta Julianta Sembiring untuk mengklarifikasi soal status Ki Gendeng Pamungkas.
“Kami membawa bukti surat kematian, tetapi atas nama Imam Santoso, Yang Mulia. Jadi bukan Ki Gendeng Pamungkas. Bisa kami tunjukkan, Yang Mulia?” ujar Julianta.
Saldi mengizinkan kuasa hukum Pemohon menunjukkan surat keterangan kematian Imam Santoso. “Anda yakin Imam Santoso yang ada surat kematiannya ini tidak sama dengan Ki Gendeng Pamungkas?” tanya Saldi. Kuasa hukum Pemohon menegaskan Imam Santoso tidak sama dengan Ki Gendeng Pamungkas karena berbeda Kartu Tanda Penduduk (KTP). “Kami yakin tidak sama, Yang Mulia,” jawab Julianta.
Selanjutnya Majelis Hakim meminta kuasa hukum Pemohon menyampaikan perbaikan permohonan. Namun ternyata menurut kuasa hukum Pemohon, tidak ada perbaikan permohonan dan tetap menggunakan permohonan awal.
“Anda ini advokat di bawah naungan Peradi ya? Tanya Saldi. “Peradi, Yang Mulia,” jawab Julianta. Saldi menyatakan, semua keterangan yang disampaikan dalam persidangan tercatat dalam risalah. Sangat mungkin keterangan ikhwal Imam Santoso dan Ki Gendeng Pamungkas ini akan disampaikan kepada Peradi.
Saldi juga memerintahkan kepada tim kuasa hukum Pemohon agar menghadirkan Pemohon Prinsipal (Ki Gendeng Pamungkas) dalam persidangan berikutnya apabila perkara ini berlanjut. “Misalnya nanti Mahkamah memutuskan meneruskan Permohonan ini, nanti Anda dengan semua tim kuasa hukum Anda harus menghadirkan Prinsipal di persidangan berikutnya,” perintah Saldi. “Siap, Yang Mulia,” jawab Julianta.
Selain itu, Saldi menegaskan, MK akan mencabut hak untuk menjadi kuasa di MK jika terbukti memberikan keterangan yang tidak benar. “Kalau terbukti Anda tidak memberikan keterangan yang benar ke kami, kami bisa mencabut hak Anda untuk menjadi Kuasa di Mahkamah Konstitusi selanjutnya,” tegas Saldi.
Dengan demikian, karena tidak ada perbaikan permohonan, Majelis Hakim mengesahkan bukti-bukti yang dimiliki Pemohon, dari bukti P1 hingga bukti P9. Sementara Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mencermati surat keterangan Pemohon tidak lengkap, karena tidak membubuhi nomor induk kependudukan atas nama Imam Santoso.
Baca Juga…
Ki Gendeng Pamungkas Uji UU Pemilu
Untuk diketahui, Ki Gendeng Pamungkas melalui tim kuasa hukumnya mengujikan sejumlah ketentuan dalam UU Pemilu. Gendeng antara lain menguji Pasal 1 angka 28 UU Pemilu, “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang selanjutnya disebut Pasangan Calon adalah pasangan calon peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai potitik yang telah memenuhi persyaratan.”
Juga Pasal 221 UU Pemilu, “Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik” dan Pasal 222, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.” Kemudian Pasal 225 ayat (1) UU Pemilu, “Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dapat mengumumkan bakal calon Presiden dan/atau bakal calon Wakil Presiden sebelum penetapan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD.”
Pemohon mendalilkan, norma yang diujikan bertujuan untuk kepentingan keutuhan dan rasa nyaman warga negara jika antara eksekutif dan parlemen bukan berasal dari partai sebagaimana sekarang. Maka partai berkuasa dapat segala-galanya di Kepresidenan dan Parlemen sebagaimana peristiwa KPK yang tidak dapat masuk ke kantor PDIP dan seterusnya. Demikian juga masuknya TKA Cina dalam keadaan Covid-19 atau pembuatan Perppu sampai kepada mengatur anggaran Covid-19 tidak memerlukan persetujuan parlemen. Maka hal ini benar-benar telah menantang Pemohon untuk memperbaki ketatanegaraan dengan cara menjadi Presiden atau Wakil Presiden sehingga tidak lagi dengan orasi atau demonstrasi jalanan.
Pemohon beranggapan, penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan dengan tujuan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh dukungan kuat dari masyarakat bukan dari partai politik atau gabungan partai politik saja sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Di samping itu, menurut Pemohon, pengaturan terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam undang-undang a quo belum menegaskan sistem presidensiil yang kuat dan efektif agar tidak terjadi seorang calon presiden atau wakil presiden dan atau partai politik/gabungan partai politik yang kalah menjadi menteri atau masuk dalam jajaran presiden dan atau wakil presiden yang menang. (Nano Tresna Arfana/LTS/NRA).