JAKARTA, HUMAS MKRI - Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) harus menambahkan pembayaran deposito 1 miliar rupiah lagi agar izin usaha tidak dicabut. Bahkan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 (UU PPMI) syaratnya bukan hanya itu, tetapi ada pula penambahan modal disetor dari 3 miliar rupiah menjadi 5 miliar rupiah. Padahal persyaratan untuk mendapatkan izin yang baru itu bukan hanya deposito.
Demikian dikatakan Wisnu Wicaksono, pemilik PT Herotama Indonusa dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (1/7/2020). Wisnu dihadirkan sebagai saksi Pemohon yakni Asosiasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (ASPATAKI) dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). Sidang kali ketujuh ini digelar dengan menerapkan pola penjarakan fisik dalam rangka mendukung percepatan penanganan Covid-19 yang masih dialami banyak negara di dunia termasuk Indonesia. Dalam perkara Nomor 83/PUU-XVII/2019 ini, Pemohon (ASPATAKI) mengujikan Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 82 huruf a, dan Pasal 85 huruf a UU PPMI.
Lebih lanjut Wisnu menceritakan izin usahanya masih berlaku hingga 30 November 2021 dan semenjak 2006 pada waktu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 diimplementasikan, dirinya telah menyetorkan deposito sebesar 500 juta rupiah. Namun usahanya tetap dicabut oleh Kementerian Tenaga Kerja pada 24 Februari 2020. Alasannya karena tidak menyesuaikan persyaratan surat izin P3MI sebagaimana dimaksud Pasal 54 ayat (1) UU PPMI dan juga Pasal 7 Permen Nomor 10 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perusahaan.
“Kalau berpedoman pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 458 Tahun 2016, izin perusahaan saya itu tidak ditemukan adanya satu klausul pun yang mengatakan izin usaha saya dapat dicabut setiap saat,” cerita Wisnu yang telah berpengalaman selama 22 tahun dalam bidang jasa penempatan ketenagakerjaan migran Indonesia.
Bukan Perlindungan, Tetapi Penempatan
Kusdiono yang merupakan saksi berikutnya yang dihadirkan Pemohon adalah pensiunan pegawai Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sejak 2009. Ia menyebutkan surat izin yang dimiliki oleh perusahaan P3MI pada masa dirinya masih bekerja adalah berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004. Namun diakui Kusdiono, hingga saat ini norma tersebut masih digunakan meskipun telah terbit Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017. Isi dari norma UU PPMI tersebut dinyatakan bahwa setiap perusahaan (P3MI) tersebut bukan memberikan perlindungan, tetapi hanya penempatan dan promosi. Akan tetapi, nyatanya dalam Surat Izin Perekrutan (SIP) yang ada sekarang, sambung Kusdiono, yang berlaku bagi 316 P3MI adalah ketentuan dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004.
“Sedangkan undang-undang baru ini (UU PPMI) diberlakukan pada 126 perusahaan. Jadi, ada hal yang dipaksakan dengan adanya Pasal 58 UU PPMI ini. Apabila tidak memenuhi persyaratan, maka perusahaan dicabut. Tidak dilihat ketentuan Pasal 54 bagi P3MI yang baru. Pasal tersebut adalah syarat administrasi sehingga apabila tidak terpenuhi deposito tadi maka akan dicabut. Padahal untuk pencabutan harus mengikuti Pasal 37, dipanggil dulu, dimusyawarahkan dulu, ada peringatan, dan sebagainya, itu yang tidak dilaksanakan tentang SIP,” terang Kusdiono di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Tak Ada Surat Teguran
Sementara keterangan Zarkasih, saksi Pemohon, menyampaikan terkait dengan pencabutan usahanya dalam perekrutan pekerja migran Indonesia. Zarkasih mengaku tidak pernah mendapat teguran dari Kementerian Tenaga Kerja. Dirinya hanya mendapatkan surat dari Kedutaan yang pada intinya meminta agar perusahaannya menghentikan seluruh pelayanan perusahaannya. “Akibatnya perusahaan saya mengalami kerugian yang sangat besar karena tidak bisa berfungsi lagi, tidak bisa berjalan lagi sesuai dengan yang kita inginkan. TKI kita masih ada, kita masih harus membayar sewa kontrak kantor, dan membayar karyawan,” cerita Zarkasih yang telah memberangkatkan 3.500 pekerja migran ke beberapa negara melalui perusahaan miliknya.
Dalam pertanyaan yang dijukan Wilman Malau selakuKuasa Hukum Pemohon terkait perpanjangan izin baru perusahaan milik Zarkasih yaitu PT Asfiz Langgeng Abadi miliknya, Zarkasih mengutarakan setelah pencabutan izin perusahaan, pihaknya tidak pernah mengajukan izin baru lagi karena adanya ketentuan Pasal 54 UU PPMI yang mensyaratkan agar P3MI menambah deposito sampai dengan 1 miliar rupiah. Sehingga, saat ini pekerja migran yang telah direkrut perusahaannya tidak dapat dkirimkan untuk ditempatkan pada perusahaan yang membutuhkan.
Baca Juga:
Modal yang Harus Disetor P3MI Dinilai Memberatkan
Pemohon Uji UU PPMI Perbaiki Permohonan
MK Tunda Sidang Pengujian UU Pelindungan Pekerja Migran
DPR: ASPATAKI Bukan Subjek UU PPMI
Tujuan UU PPMI Lindungi Pekerja Migran Indonesia
Ahli: Negara Jangan Menempatkan P3MI Seperti Musuh
Perlu diketahui bahwa Pemohon merasa dirugikan dengan keberadaan Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b UU PPMI terutama terhadap frasa “bank pemerintah” dan jumlah 5 milyar rupiah sebagai modal yang disetor serta jumlah 1.5 milyar rupiah dalam deposito yang harus sudah disetorkan oleh P3MI. Menurut Pemohon, uang sejumlah 5 milyar rupiah bukanlah jumlah yang dapat dijangkau oleh setiap entitas termasuk P3MI. Selain itu, penerapan kewajiban bagi P3MI untuk memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan paling sedikit 5 milyar rupiah sangat jelas memberikan perlakuan yang tidak adil. Padahal dalam ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas hanya menentukan minimal Rp 50 juta. Pemohon memandang hal ini menimbulkan ketidakjelasan atas ketentuan hukum, yang mana yang harus lebih dahulu dijalankan dalam penempatan pekerja migran Indonesia.
Sebagaimana diketahui Pemohon (ASPATAKI) memiliki anggota berjumlah 142 Perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) atau perusahaan-perusahaan yang bidang usahanya melaksanakan penempatan dan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri.
Sebelum mengakhiri persidangan, Anwar menyampaikan bahwa sidang ditunda hingga Rabu, 15 Juli 2020 pukul 11.00 WIB. Adapun agenda persidangan berikutnya adalah mendengarkan Keterangan Ahli dari Migrant Care selaku Pihak terkait. (Sri Pujianti/ASF/NRA).