JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (UU 1/1946), pada Selasa siang (30/6/2020) di Ruang Sidang MK.
Dalam persidangan hadir bersama Pemohon, tim kuasa hukum para Pemohon Perkara Nomor 33/PUU-XVIII/2020, Tonin Tachta Singarimbu bersama kuasa hukum Pemohon lainnya. “Sesuai nasihat pada pemeriksaan pendahuluan maka kami telah melakukan perbaikan sebagaimana mestinya. Pada pokoknya saat mengajukan permohonan, masih kaburnya antara pemohon Nelly Rosa Yulhiana dengan suaminya Yudi Syamhudi Suyuti. Pada permohonan ini pemohon murni sebagai aktivis yang khawatir suatu waktu kelak akan dapat dikenakan pidana Pasal 14 ayat (1) dan (2) maupun Pasal 15 UU 1/1946,“ ujarnya.
Baca juga: Suami Jadi Tersangka Makar, Istri Gugat UU Peraturan Hukum Pidana
Dalam perbaikan Permohonan Perkara yang teregisterasi dengan Nomor 33/PUU-XVIII/2020 ini ia mengatakan bahwa pihaknya tetap menggunakan dasar norma begitu juga batu uji UU 1945 yakni Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28G ayat (1), serta Pasal 28I ayat (2).
Selanjutnya pemohon juga memperbaiki kerugian konstitusional pemohon. Ia menegaskan, kerugian hak dan kewenangan konstitusional pemohon bersifat spesifik dan aktual setidak-tidaknya bersifat potensial. Kemudian, pemohon juga menguraikan alasan pengajuan permohonan serta memperbaiki petitum.
Dalam sidang sebelumnya, Pemohon menjelaskan bahwa merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946. Dalam permohonannya, Pemohon menguraikan kasus konkret yang dialami oleh suaminya. Suami Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946. Penahanan tersebut menyebabkan suami Pemohon ditahan dengan tuntutan hukuman penjara setinggi-tingginya tiga tahun dan hukuman penjara setinggi-tingginya 2 tahun sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946. Padahal seharusnya mengacu pada Pasal 14 ayat (1) UU 1/1946, penuntut umum dapat melakukan penahanan selama pemeriksaan tingkat penyidikan, penuntutan, dan pengadilan sampai putusan akhir.
Pemohon juga menganggap bahwa kedua pasal tersebut menyebabkan kegiatan Pemohon sebagai aktivis sangat terancam dan tidak terlidungi konstitusi. Padahal sebagai rakyat sekaligus aktivis, Pemohon seharusnya tidak dibatasi dalam menyampaikan pendapat/hasil kajiannya/karya ilmiahnya karena telah dijamin UUD, yang menyatakan kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan
Tonin memaparkan bahwa kedua pasal tersebut merupakan pencabutan dan penambahan atas ketentuan dalam Pasal 171 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab V mengenai ketertiban umum dalam buku II KUHP mengenai kejahatan. Bahwa pada mulanya hanya terdapat satu ayat dalam Pasal 171 KUHP yang berbunyi Barang siapa yang menyiarkan kabar bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat diancam dengan pidana penjara setinggi-tingginya satu tahun dan denda paling banyak Rp. 300. “Rumusan ini masih dipertahankan namun dengan perubahan ancaman pidana saja. Pasal 14 ayat (2) UU 1/1946 berasal dari rumusan dari Verdodening Militair Gezag yang diberlakukan pada tanggal 21 Mei 1940 dengan perubahan beberapa redaksi dan unsur," tegasnya.
Menurut Pemohon, keberadaan Pasal 171 KUHP dimaksudkan untuk menghapuskan kegelisahan dalam masyarakat serta upaya dari pemerintah kolonial Hindia Belanda mempertahankan ketertiban umum dari berita yang dipandang bohong termasuk juga berita yang dihembuskan oleh pihak yang menginginkan kemerdekaan. Sementara rumusan Pasal 15 UU 1/1946 merupakan rumusan baru. Pemohon menilai perlu adanya penyesuaian pada peraturan hukum pidana dikarenakan perbedaan keadaan pada 1946 dengan 2020.
Selain itu, Pemohon menjelaskan bahwa Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 15 UU 1/1946 mensyaratkan adanya tiga unsur. Ketiga unsur tersebut adalah unsur menyiarkan atau menyebarkan, unsur kedua berita bohong atau kabar angin atau kabar yang disiarkan dengan tambahan atau dikurang, dan unsur ketiga adalah keonaran. Ketiga unsur yang terkandung itu dianggap Pemohon belum memenuhi hak konstitusi.
Tambahan lain, Pemohon juga menyebut dalil Pasal 14 ayat (1), ayat (2) atau Pasal 15 UU 1/1946 sebagai dasar 3 (tiga) dakwaan kepada suami Pemohon oleh JPU menunjukkan keragu-raguan. Hal tersebut karena penetapan tersangka oleh penyidik adalah Pasal 110 KUHP juncto Pasal 107 KUHP juncto Pasal 87 KUHP dan atau Pasal 207 KUHP dan atau Pasal 14 dan atau Pasal 15 UU 1/1946 dalam dugaan perbuatan tindak pidana makar dengan niat menggulilngkan pemerintahan yang sah dan atau kejahatan terhadap penguasa umum dan atau penyebaran berita bohong. (Utami/Fitri/LA)