JAKARTA, HUMAS MKRI - Proses seleksi calon hakim agung tidak sepenuhnya dapat memotret bagaimana profil integritas seorang calon hakim agung. Saat menjabatlah akuntabilitas tersebut berlaku padanya melalui pengawasan oleh Komisi Yudisial. Khawatiran mengenai kompetensi yang kurang baik dari seorang calon hakim agung dapat dilakukan melalui pengawasan yang diakomodir tanpa perlu menggunakan periodisasi masa jabatan.
Demikian diutarakan oleh Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) M. Rizaldi dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA). Sidang pemeriksaan perkara Nomor 2/PUU-XVIII/2020 yang diajukan Aristides Verissimo de Sousa Mota ini diselenggarakan pada Senin (29/6/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan MAPPI selaku Pihak Terkait ini menerapkan pola penjarakan fisik guna mendukung upaya pemerintah dalam mencegah penyebaran Covid-19 di Indonesia.
Lebih jelas Rizaldi menguraikan bahwa dalam proses seleksi hakim agung, peserta yang mengikuti tak hanya dari kalangan hakim tetapi juga masyarakat umum karena seleksi yang bersifat terbuka. Misalnya saja apabila calonnya adalah politisi dan pebisnis, maka akan muncul bias. Diakui Rizaldi bahwa dalam pemantauan MAPPI saat proses seleksi hakim agung masih terdapat kekurangan pada materi seleksi. Padahal MA sebagai judek juris harus menjaga kualitas utama dari hakimnya dengan mendapatkan hakim yang tak hanya mampu memeriksa perkara karena materi yang digali bukan hanya fakta hukum, tetapi juga terkait dengan penerapan dan cara menggali perkara hukum serta harus memahami perannya pada tingkat pertama, banding, dan kasasi.
“Dalam proses seleksi, kemampuan ini kerap dilupakan dan dalam penggalian calon hakim yang ada cenderung menggali hal-hal yang kurang relevan. Dalam pandangan kami, kemampuan menghapal pasal demi pasal itu tidak menjamin penerapannya dapat dilakukan oleh para calon hakim dengan adil. Oleh karena itu, kurang teperhatikannya potensi ini membuat munculnya pertentangan dengan semangat MA untuk membangun kesatuan hukum dalam peradilan di Indonesia,” jelas Rizaldi di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Metode Penjamin Integritas
Dalam mengkonkretkan permasalahan pengajuan masa jabatan hakim agung ini, MAPPI melakukan suatu studi perbandingan dnegan mencontohkan penerapan tiga metode dalam menjaga integritas seorang hakim agung di peradilan. Pertama, menggunakan metode masa jabatan seumur hidup yang diterapkan Amerika Serikat. Kedua, metode penerapan umur pensiun yang dilakukan oleh Australia. Ketiga, penerapan metode periodisasi masa jabatan yang dilakukan oleh Afrika Selatan.
Disebutkan Rizaldi bahwa penerapan masa jabatan hakim agung seumur hidup di Amerika Serikat ini sejatinya berpotensi menyuburkan praktik korupsi terutama pada beban kerja hakim yang harus menangani perkara dalam waktu yang lama. Umumnya, umur hakim agung saat diangkat, selesai jabatan, dan durasi masa tugas di Amerika Serikat rata-rata adalah 52 – 53 tahun. Dalam praktiknya, masa jabatan yang begitu lama ini tidak terlepas dari skeptisisme. Namun hal ini kemudian mendapat kritikan karena seorang hakim agung di negara tersebut dapat menjabat lebih dari 40 tahun. Sehingga disinyallir hal ini berpotensi mengurangi kemampuan dan potensi seorang hakim agung dalam menjalankan tugas secara maksimal dalam sistem pemerintahan.
Berbeda halnya dengan Australia, negara ini sejak 1977 telah menerapkan metode pengaturan masa jabatan hakin agung melalui penarapan usia pensiun. Hal ini dilakukan mengingat akan ada masa menurunnya performa kerja seseorang karena usia yang kian lanjut. “Sehingga penerapan usia pensiun hakim adalah 70 tahun ini telah memenuhi independensi hakim dalam menyelesaikan tugas dan kewenangannya untuk menuntaskan setiap perkara hukum yang dihadapinya,” jelas Rizaldi.
Adapun di Afrika Selatan, menerapkan masa periodisasi selama 12 tahun untuk seorang hakim agung dan tidak dapat dipilih kembali serta penerapan usia pensiun usia 70 tahun. Penerapan sistem ini dinilai sangat moderat, tetapi juga menyulitkan peradilan untuk mempertahankan independensi pengadilan. “Maka periodisasi jika diberlakukan umumnya tidak diterapkan untuk lanjutan. Tujuannya tidak lain untuk menghindari hakim berperilaku aman. Lalu, bagaimana proses seleksi yang objektif, tetapi seleksi jabatan publik ini ada aspek politiknya? Pada akhirnya hasil seleksi ini masuk ke DPR dan akan dipilih DPR. Maka, periodisasi ini juga kurang tepat digunakan di Indonesia,” kata Rizaldi.
Baca Juga…
Pemohon Uji UU MA Persoalkan Masa Jabatan Hakim Agung
Pemohon Uji UU MA Perbaiki Permohonan
DPR Tak Hadir dan Pemerintah Belum Siap, Sidang Uji UU MA Ditunda
Pemerintah: Kedudukan Masa Jabatan Presiden dan Hakim Agung Berbeda
Pada sidang pendahuluan, Pemohon berargumen bahwa ketentuan Pasal 7 dan Pasal 11 UU MA telah menyebabkan diskriminasi karena adanya pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Namun hal ini tidak berlaku sebaliknya pada masa jabatan hakim agung. Menurut Pemohon, jika seseorang terpilih menjadi hakim agung pada saat berusia 45 tahun, maka kemungkinan besar yang bersangkutan akan berkuasa selama 25 tahun dikarenakan usia pensiun hakim agung adalah 70 tahun. Berdasarkan argumentasi tersebut, Pemohon meminta MK memutus masa jabatan hakim agung adalah 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu periode. Sehingga, masa jabatan hakim agung maksimal adalah 10 tahun.
Apabila hakim agung telah bertugas lebih dari 10 tahun, terhitung dikeluarkannya putusan ini maka harus berhenti dari jabatannya. Kemudian untuk hakim agung yang telah bertugas lebih dari 5 tahun, namun kurang dari 10 tahun, maka masa tugas yang bersangkutan akan berakhir ketika telah mencapai 10 tahun. Selain itu meminta supaya hakim agung yang bertugas kurang dari 5 tahun, maka masa jabatannya adalah 5 tahun dan pada saat masa jabatannya berakhir yang bersangkutan dapat mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi hakim agung. (Sri Pujianti/Tir/NRA).