JAKARTA, HUMAS MKRI - Kelembagaan pemerintahan harus bersifat dinamis karena mengikuti perkembangan zaman dan teknologi. Misalnya, dengan melahirkan sebuah kebutuhan, termasuk kebutuhan Wakil Menteri (Wamen). Hal ini diungkapkan oleh pakar hukum tata negara UGM, Zainal Arifin Mochtar dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara) pada Kamis (12/3) di Ruang Sidang Pleno. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 80/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh Ketua Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) Bayu Segara.
Dalam keterangan Zainal melalui video conference, ia menjelaskan secara fungsi pemerintahan serta aparatnya juga harus bersifat dinamis. Maka, presiden dalam kewenangannya dapat menyikapi kedinamisan pemerintahan salah satunya dengan memilih Wamen.
“Presiden selaku penanggung jawab tertinggi dalam sistem presidensial harus memiliki kewenangan sebagaimana dimaksud untuk menanggapi kemungkinan kebutuhan pemerintahan yang bergerak dinamis. Dan itulah sebenarnya asal-muasal yang dalam konsep konstitusional menurut saya melahirkan jabatan wakil menteri,” papar Zainal.
Selain itu, Zainal menyebutkan secara hukum jabatan Wamen dapat diartikan sebagai jabatan fungsional yang baru, sifat membantu presiden dan menjadi bagian dari struktur pimpinan dengan ketentuan beban kerja khusus. Maknanya, seorang Wamen harus memenuhi kapasitas tertentu dengan tingkat kompetensi tertentu pula. Pada hakikatnya sebuah jabatan publik harus tetap memegang teguh pemenuhan ketentuan integritas, aksebilitas, dan kapabilitas dari pemangku jabatan tersebut.
“Dengan demikian, meskipun Wamen berarti pembantu dalam UU Kementerian Negara, tetapi sifatnya tidak dapat diartikan tunggal dan bahkan harus dimaknai luas. Artinya, sifat kepembantuannya adalah dalam hal membantu merumuskan dan melaksanakan kebijakan kementerian,” terang Zainal.
Untuk menduduki jabatan Wamen dengan beban kerja khusus ini, sambung Zainal, harus ada syarat dalam ketentuan kebutuhan khususnya. Selain itu, harus terdapat standar etika ketatanegaraan yang mengikat secara universal. Terkait dengan keberadaan Wamen dengan beban kerja khusus ini, Zainal melihat bahwa keberadaannya dapat saja menjadi pilihan. Hal tersebut wajib dilakukan jika ada beban kerja khusus yang dibutuhkan untuk membantu presiden dalam optimalisasi pemerintahan.
Tidak Dilarang
Zainal menegaskan, jabatan Wamen tidak dijelaskan dalam UU, tetapi bukan menjadi hal yang tidak mungkin dapat dibuat dalam struktur pemerintahan. Seperti dipahami, dalam sistem pemerintahan presidensiil, Zainal menerangkan bahwa seorang presiden merupakan kepala pemerintahan. Dalam hal ini, presiden bertindak selaku pihak yang mengontruksikan urusan pemerintahan dan wilayahnya untuk menyejahterakan rakyat. Artinya, fungsi inilah yang dilakukan presiden dalam kewenangannya untuk mengisi jabatan menteri demi menyokong kinerjanya.
“Sehingga, presiden dapat saja membentuk lembaga non-kementerian termasuk didalamnya mengangkat Wamen. Karena, ketiadaan pengaturan ini, bukan berarti dalil bahwa pengangkatan Wamen adalah hal yang dilarang,” jelas Zainal dihadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi hakim konstitusi lainnya.
Zainal berargumen, sebagai pemegang kekuasaan seorang presiden dapat menentukan jumlah menteri, susunan kabinet, dan penunjukan yang akan dipilihnya. Itu sebabnya, tidak ada ketentuan yang terlalu membatasi presiden secara ketat dalam UU Kementerian Negara terkait dengan kebutuhan jabatan wamen. “Dengan demikian, jabatan wamen menemukan alasan konstitusional,” ujar Zainal.
Dalam permohonannya, Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas pelantikan 12 wakil menteri di sebelas kementerian oleh Presiden Joko Widodo pada 25 Oktober 2019. Keberadaan wakil menteri ini dinilai bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 karena keberadaan jabatan tersebut dinilai bersifat subjektif. Hal ini dikarenakan tidak adanya kedudukan, kewenangan, dan fungsi yang jelas dalam UU Kementerian Negara. Pasalnya, pengaturan kedudukan fungsi tugas wakil menteri diatur dengan peraturan presiden. Hal tersebut merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan amar konstitusi yang menyatakan kedudukan, tugas, fungsi, dan wewenang wakil menteri adalah materi muatan undang-undang.
Di sisi lain, dalam UU Kementerian tidak mengatur hal tersebut. Pemohon menduga hal ini dapat menimbulkan kesewenang-wenangan karena tidak melibatkan DPR sebagai representasi wakil rakyat. Selain itu, Pemohon juga menyebutkan pengangkatan 12 wakil menteri merupakan tindakan subjektif presiden yang tidak memiliki alasan urgensi yang jelas. Keberadaan jabatan wakil menteri disinyalir akan mengakibatkan negara harus menyiapkan fasilitas khusus yang hanya membuang-buang anggaran negara.
Sebelum mengakhir persidangan, Anwar menyatakan bahwa persidangan berikutnya akan digelar pada Selasa, 24 Maret 2020 pukul 14.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan dua ahli dari presiden. (Sri Pujianti/A.L/LA)