JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) pada Selasa (23/6/2020). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 41/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Taufik Surya Dharma. Pemohon merupakan mantan Pengurus PT. United Coal Indonesia (PT UCI) yang sudah dinyatakan pailit melalui putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Tahun 2015 silam.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konsitusi Daniel Yusmic P Foekh, Heru Widodo mengatakan bahwa Pemohon keberatan dengan berlakunya Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP. Menurut Pemohon, kedua pasal tersebut telah dijadikan dasar oleh Kantor Pelayanan Pajak Besar Satu Jakarta Selatan (KPP Wajib Pajak Besar Satu) untuk melakukan penagihan pajak PT. UCI yang dibebankan kepada Pemohon secara pribadi dengan jumlah yang sangat fantastis sebesar Rp193.625.721.483,00. Hal ini terjadi hanya karena NPWP Badan atas nama PT. UCI (dalam pailit) belum dihapus. Padahal, perusahaan tersebut sudah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan seluruh boedel harta pailit dilakukan pemberesan oleh Kurator.
Dikatakan Heru, keberatan Pemohon semakin beralasan, selain dibebani tagihan pajak atas perseroan yang sudah pailit, Pemohon mendapat surat dari KPP Wajib Pajak Besar Satu yang isinya berupa perintah untuk memberikan kuasa kepada bank BCA Kuningan untuk memberitahukan saldo harta kekayaan penanggung pajak yang tersimpan pada bank atas nama Pemohon pada 26 Desember 2019. Hal ini berdampak harta pribadi Pemohon terancam diambil paksa untuk melunasi hutang pajak perusahaan PT. UCI. Padahal pada saat pengurusan boedel pailit PT. UCI, permohonan pembagian dari KPP Wajib Pajak Besar Satu telah dikabulkan oleh hakim pengawas dan utang pajak tersebut telah dibayarkan oleh kurator yang besarnya sesuai penetapan hakim.
“Suatu perseroan yang telah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan mengakibatkan perseroan tersebut lumpuh tidak dapat melakukan kegiatan usaha kecuali sebatas pengurusan dan pemberasan harta pailit yang dilakukan oleh Kurator. Pengurus perseroan dalam hal ini Direksi dan seluruh pengurusnya tidak lagi memiliki wewenang apapun untuk bertindak mengurus kekayaannya,” ujar Heru.
Selain itu, tuntutan mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta pailit sudah sepatutnya ditujukan kepada kurator, bukan kepada Pemohon. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 26 ayat (1) UU 37/2004 yang menyatakan tak terkecuali tuntutan terhadap pengurusan dan pemberesan harta pailit untuk menyelesaikan utang badan perseroan seperti utang pajak. Apalagi keberadaan kurator pada hakikatnya, memang diposisikan sebagai penanggung pajak sekaligus wajib pajak badan yang telah dipailitkan. Sesuai dengan pengertian yang tertulis dalam Pasal 1 angka 3 UU 28/2007 yang menyatakan, “Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan Pasal 2 ayat (6) UU KUPbertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Penghapusan NPWP dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak termasuk apabila wajib pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Serta Norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Pertajam Subjek Hukum
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyarankan pemohon untuk mempertajam penjelasan subjek hukum pemohon untuk meyakinkan MK. “ini penjelasannya bisa dipertajam karena setelah tau itu apakah substansi permohonannya apakah ada kerugian konstitusional,” saran Arief.
Sementara terkait uraian permohonan, Arief menjelaskan terkait penjelasan bahwa pasal-pasal yang diujikan bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 lebih banyak mengungkapkan kasus konkret. “Jika bisa ditambahkan, setelah diuraikan pasal-pasal yang diujikan, (Pemohon mencantumkan) uraian teoretis yang dikembangkan oleh Lon Fuller yang menyebut pasal-pasal yang baik harus memenuhi beberapa syarat. Salah satu syaratnya yaitu undang-undang harus memberikan perlindungan hukum dan jaminan kepastian hukum. Kalau bisa dikaji dengan teori ini, akan memberikan kajian bahwa pasal-pasal ini bermasalah,” ujar Arief.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta Pemohon untuk menguraikan identitas Pemohon. Di awal, Pemohon hanya menguraikan dirinya sebagai Pemohon perseorangan, sedangkan dalam posita, diuraikan jabatan Pemohon sebagai direktur.
“Dalam permohonan belum jelas terlihat, apakah tagihan pajak ketika perusahaan pailit atau ketika perusahaan belum pailit. Karena ketika pajak masih terutang, sehingga tidak bisa dipisahkan tanggung jawab direksi bahkan komisaris. Nanti dibaca lagi ketentuan UU Perseroan Terbatas. Tolong dipertegas dulu identitas ini. Karena perseroan dinyatakan pailit tidak serta merta kepengurusan bubar,” ujar Suhartoyo.
Sebelum menutup persidangan, Panel Hakim memberikan waktu 14 hari kerja kepada Pemohon untuk melakukan perbaikan permohonan. Selambatnya permohonan Pemohon harus diterima pada 6 Juli 2020 oleh Kepaniteraan MK. (Utami/AL/LA)