JAKARTA, HUMAS MKRI - Pada prinsipnya produk usaha suretyship tidak dibatasi pada konsep-konsep kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh bidang-bidang usaha tertentu saja, tetapi juga dapat dilaksanakan oleh perusahaan penjaminan maupun asuransi. Hal tersebut dikatakan Deputi Komisioner Hukum Dan Penyidikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Rizal Ramadhani saat menyampaikan keterangan OJK selaku Pihak Terkait dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (22/6/2020).
Sidang perkara Nomor 5/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) ini sejatinya juga beragendakan mendengarkan keterangan DPR. Namun DPR kembali berhalangan hadir. Sidang ini diselenggarakan MK dengan tetap memberlakukan pola penjarakan fisik (physical distancing) guna mendukung pencegahan penyebaran Covid-19, yang telah disesuaikan dengan protokol kesehatan yang ditetapkan Kementerian Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO).
Lebih lengkapnya Rizal menjabarkan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian adalah ketentuan yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Penjaminan yang menyatakan “Setiap orang di luar lembaga penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya undang-undang, wajib menyesuaikan dengan undang-undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 tahun sejak berlakunya undang-undang ini,” dan Pasal 61 ayat (2) menyebutkan pula, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri.”
Sementara itu, sambung Rizal, pada Pasal 1 angka 6 UU Penjaminan juga telah disebutkan aturan bahwa lembaga penjamin adalah perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan syariah, perusahaan penjaminan ulang, dan perusahaan penjaminan ulang syariah yang menjalankan kegiatan penjaminan. Sehingga berkaitan dengan hal ini, perusahaan asuransi yang merupakan perusahaan di luar lembaga penjamin haruslah memenuhi persyaratan lembaga penjamin, apabila hendak melakukan kegiatan usaha yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan.
Adapun kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan menyatakan bahwa kegiatan ini dapat pula dilakukan asuransi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, yang telah mengatur adanya perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian. Mengingat lini usaha suretyship yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tidaklah memerlukan persyaratan sebagai lembaga penjaminan sebagaimana Pasal 1 angka 1 UU Penjaminan.
“Dengan demikian kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Penjaminan dapat dilakukan oleh, baik perusahaan penjaminan, perusahaan perasuransian, maupun lembaga jasa keuangan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan” sampai Rizal terhadap permohonan Pemohon yang mendalilkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian bertentangan dengan UUD 1945.
Hanya Perusahaan Asuransi Umum
Selanjutnya Rizal juga mengatakan bahwa sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian, OJK telah menerbitkan POJK Nomor 69 Tahun 2016 untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship. Namun, lini usaha ini hanya diberikan kepada perusahaan asuransi umum dan tidak diberikan kepada perusahaan asuransi umum syariah, perusahaan asuransi jiwa, dan perusahaan asuransi jiwa syariah. Hal ini ditegaskan dengan jelas dalam Pasal 4 huruf a POJK Nomor 69 Tahun 2016. Dengan demikian, lini usaha suretyship yang dilakukan oleh perusahaan asuransi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian dan diatur lebih lanjut dalam POJK Nomor 69 Tahun 2016 telah sesuai dengan ketentuan Pasal 61 UU Penjaminan.
“Sehingga perusahaan asuransi yang melakukan lini usaha suretyship tidaklah dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dikhawatirkan oleh Pemohon,” jelas Rizal di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Bertambahnya Pemanfaatan Layanan
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian frasa “sesuai kebutuhan masyarakat”, Rizal mengetengahkan bahwa hal ini tidak dapat dipisahkan dari industri perasuransian yang terus berkembang di masyarakat. Dalam penjelasan umum UU Perasuransian telah disebutkan pengaturan mengenai asuransi yang dilatarbelakangi oleh perkembangan pesat industri perasuransian. Hal ini ditandai dengan meningkatnya volume usaha dan bertambahnya pemanfaatan layanan jasa perasuransian dalam masyarakat.
Dengan diaturnya perluasan lini usaha perusahaan asuransi pada norma tersebut, hal ini akan mempermudah pengaturan mengenai penambahan lini usaha asuransi sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap asuransi. Hal ini sesungguhnya memudahkan OJK selaku otoritas yang diberikan kewenangan untuk mengatur lebih lanjut lini-lini usaha tambahan yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi, yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
“Maka berkaitan dengan Petitum Pemohon tentang penyisipan frasa “termasuk lini usaha suretyship” dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Perasuransian, justru tidak memberikan kepastian hukum bagi perusahaan asuransi untuk dapat melakukan perluasan lingkup usaha karena penyisipan frasa termasuk
lini usaha suretyship karena justru menjadi seolah membatasi adanya perluasan ruang lingkup kegiatan perusahaan asuransi selain lini usaha suretyship karena yang maksud dari norma tersebut adalah ruang lingkup usaha asuransi haruslah didasarkan pada perkembangan kebutuhan masyarakat yang tidak hanya berkaitan dengan lini usaha suretyship,” terang Rizal.
Baca Juga:
Status Usaha Suretyship Tidak Jelas, Asosiasi Asuransi Gugat UU Perasuransian
Pemohon Uji UU Perasuransian Pertegas Argumentasi Kedudukan Hukum
Peran Pemerintah Mendorong Kapasitas Asuransi
DPR Kembali Berhalangan Hadir, Sidang Uji UU Perasuransian Ditunda
Sebagai informasi, menurut Pemohon norma yang dimohonkan pengujian di MK ini tidak secara tegas menyebut lini usaha suretyship sebagai perluasan usaha asuransi. Pelaksanaan suretyship hanya didasarkan pada norma tersebut yang memberikan wewenang kepada OJK untuk melakukan perluasan ruang lingkup. Dalam pandangan Pemohon, hal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Pemohon mendalilkan pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekutan hukum sepanjang tidak dimaknai “mencantumkan suretyship sebagai perluasan jenis usaha asuransi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.”
Perlu diketahui, demi mendukung upaya pencegahan persebaran Covid-19, MK telah mengimbau para Pihak, baik Pemohon, Kuasa Pemohon, Pemerintah, Ahli, Saksi maupun berbagai pihak yang terkait lainnya untuk dapat menggunakan fasilitas persidangan secara daring (online). Untuk mendukung jalannya persidangan dengan cara tersebut, MK memanfaatkan teknologi Zoom dan CloudX dalam mempermudah berbagai pihak untuk tetap dapat mengikuti persidangan dari kediaman masing-masing. Para pihak yang akan mengikuti persidangan diharapkan melaporkan terlebih dahulu perangkat yang dimanfaatkan kepada Tim Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) MK sekurang-kurangnya dua hari sebelum persidangan digelar. Sementara para pihak yang ingin mengikuti perkembangan perkara yang sedang disidangkan dapat menyaksikan melalui live streaming di laman resmi atau akun YouTube MK di tempat tinggal masing-masing. Sebelum berakhirnya sidang, Anwar menyebutkan bahwa sidang berikutnya akan diselenggarakan pada Senin, 13 Juli 2020 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon. (Sri Pujianti/Raisa/NRA).