JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Permohonan ini diajukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA) dan Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah Provinsi Kalimantan Barat (KPPAD Provinsi Kalimantan Barat). Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan, pada Selasa (19/05/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
Sidang digelar di tengah pandemi Corona Virus Disease (Covid-19). Tentu saja sidang dilaksanakan dengan menerapkan pola penjarakkan fisik (physical distancing) sesuai ketentuan protokol kesehatan yang telah diatur Kementerian Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO).
“Amar putusan, mengadili, menyatakan, pertama, permohonan Pemohon X tidak dapat diterima. Kedua, menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya,” ucap Anwar saat membacakan amar Putusan Nomor 85/PUU-XVII/2019.
Para Pemohon mendalilkan dengan tidak adanya frasa “termasuk Komisi Perlindungan Anak Daerah” dalam norma Pasal 74 ayat (1) UU Perlindungan Anak serta tidak adanya kata “wajib” bagi daerah untuk membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) sebagai lembaga independen dalam norma Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak akan berdampak terhadap berkurangnya perlindungan anak di daerah karena KPAI tidak memiliki kapasitas untuk menjangkau pengawasan penyelenggaraan hak anak di seluruh pelosok wilayah NKRI, sehingga bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak menyatakan, “Dalam hal diperlukan, Pemerintah Daerah dapat membentuk Komisi Perlindungan Anak Daerah atau lembaga lainnya yang sejenis untuk mendukung pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah”.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Mahkamah berpendapat poin penting dari ketentuan tersebut adalah frasa “untuk mendukung pengawasan atas penyelenggaraan perlindungan anak di daerah” apakah untuk melaksanakan dukungan tersebut akan dibentuk dalam kelembagaan tersendiri atau tidak, diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah. Karena UU Perlindungan Anak menyerahkan sepenuhnya pembentukan kelembagaan tersebut kepada pemerintah daerah. Pembentukan kelembagaan apapun di daerah harus merujuk pada seluruh regulasi yang terkait dengan pembentukan lembaga, organ atau perangkat di daerah agar tidak terjadi proliferasi kelembagaan sebagaimana pernah terjadi di era awal pelaksanaan otonomi seluas-luasnya di bawah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
“Terlebih jika lembaga-lembaga tersebut kemudian saling bertumpang tindih dalam melaksanakan tugas dan fungsinya maka tujuan pembentukan lembaga tidak akan optimal yang pada akhirnya bermuara pada pemborosan keuangan negara,” kata Enny membacakan pertimbangan hukum putusan.
Sementara itu, terkait dengan salah satu core business KPAI adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana telah dinyatakan dalam Pasal 76 huruf a UU Perlindungan Anak. Sementara itu pula, berdasarkan pembagian urusan pemerintahan konkuren, tidak disebutkan kewenangan daerah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak karena lingkup kewenangan daerah meliputi pelembagaan Pemenuhan Hak Anak (PHA), penguatan kelembagaan penyedia layanan untuk peningkatan kualitas hidup anak, pencegahan kekerasan terhadap anak, dan penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus. Namun demikian, sekalipun tugas pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak tidak disebutkan secara spesifik sebagai tugas pemerintah daerah, bukan berarti daerah terlepas sama sekali dari pelaksanaan fungsi pengawasan. Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, fungsi pengawasan merupakan fungsi yang inheren dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Bahkan, hal demikian senantiasa ditegaskan dalam setiap undang-undang pemerintahan daerah. Pasal 7 ayat (1) UU 23/2014 yang menegaskan, “Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Daerah”. Pembinaan dan pengawasan ini dilakukan menteri/pimpinan lembaga terkait dengan urusan pemerintahan tersebut. Lebih lanjut, dalam Pasal 91 UU 23/2014 ditambahkan pula, “Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota dan Tugas Pembantuan oleh Daerah kabupaten/kota, Presiden dibantu oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat”.
Oleh karena urusan perlindungan anak merupakan urusan wajib daerah yang tidak terkait dengan pelayanan dasar maka secara berjenjang pemerintah pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan tersebut. Dalam konteks inilah, KPAI seharusnya bersinergi dengan pemerintah daerah agar hak konstitusional anak dapat semakin terjamin dan terpenuhi.
Oleh karena itu, dalil para Pemohon yang memohon agar Mahkamah menambahkan frasa “termasuk Komisi Perlindungan Anak Daerah” dalam Pasal 74 ayat (1) UU Perlindungan Anak terlebih lagi jika hal tersebut didalilkan para Pemohon agar wajib dibentuk oleh daerah (Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak) adalah dalil yang tidak mendasar. Namun demikian, sesuai dengan amanat Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak, daerah dapat membentuk kelembagaan dimaksud sepanjang dibutuhkan oleh daerah yang bersangkutan sesuai dengan situasi dan kondisi serta kompleksitas persoalan perlindungan anak di daerah. Kebutuhan demikian sekaligus menjawab amanat Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Oleh karenanya, pembentukan KPAID berdasarkan Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak tidaklah dimaksudkan untuk menggerus kewenangan daerah atas penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan sebagai urusan daerah, in casu urusan perlindungan anak.
Dengan demikian Mahkamah berpendapat, tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2) UU Perlindungan Anak sehingga dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Peran Masyarakat
Kemudian, Pemohon juga mendalilkan Pasal 76 huruf a UU Perlindungan Anak inkonstitusional karena meniadakan tugas sosialisasi oleh KPAI. Menurut Mahkamah, tugas sosialisasi dari KPAI tidaklah hilang hanya karena tidak tercantum secara spesifik dalam Pasal 76 UU Perlindungan Anak, namun tugas tersebut oleh pembentuk undang-undang dialihkan menjadi bagian dari peran masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 72 ayat (3) huruf a UU Perlindungan Anak yang menyatakan, “Peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak dilakukan dengan cara memberikan informasi melalui sosialisasi dan edukasi mengenai hak anak dan peraturan perundang-undangan tentang anak.”
Masyarakat yang dimaksud berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Perlindungan Anak adalah orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga kesejahteraan sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media massa, dan dunia usaha. Artinya, dengan adanya perubahan ketentuan ini maka sosialisasi bukan lagi menjadi monopoli tugas dari KPAI sebagaimana semula ditentukan dalam Pasal 76 ayat (1) UU 23/2002.
Sementara itu, untuk pengaturan peran masyarakat dalam ketentuan UU 23/2002 diatur secara sangat terbatas tanpa ada kejelasan ruang lingkup peran yang dapat dilakukannya, termasuk cara melakukannya. Oleh karena itu, seiring dengan dilakukannya perubahan UU Perlindungan Anak, peran masyarakat perlu dikuatkan dalam rangka mewujudkan tujuan UU Perlindungan Anak. Konsekuensi penguatan tersebut, tugas sosialisasi pun diperluas yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk KPAI dan KPAID sebagai lembaga perlindungan anak.
“Dengan semakin luasnya keterlibatan pihak-pihak dalam melakukan sosialisasi maka dalam batas penalaran yang wajar akan semakin luas pula jangkauan pemahaman masyarakat mengenai hak-hak anak,” lanjut Enny.
Perluasan pemahaman ini menjadi penting artinya tidak hanya untuk pemajuan (to promote) hak-hak anak, termasuk di dalamnya adalah menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pemenuhan hak anak agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Pentingnya pemenuhan hak tersebut sejalan dengan maksud pengesahan Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child.
Adanya kekhawatiran para Pemohon yang beranggapan tidak dapat lagi melakukan pengawasan atas penyelenggaraan hak anak sampai ke pelosok wilayah NKRI karena tidak ada lagi tugas sosialisasi yang merupakan satu nafas dengan pengawasan, merupakan hal yang tidak mendasar karena pada prinsipnya Pasal 76 UU Perlindungan Anak menentukan bahwa lembaga perlindungan anak termasuk lembaga yang diberi peran untuk melakukan sosialisasi. Dalam konteks ini, sambung Enny, fungsi pengawasan yang dimiliki oleh KPAI sekaligus dapat disinergikan dengan fungsi sosialisasi. Apalagi, nomenklatur yang digunakan oleh UU tersebut adalah lembaga perlindungan anak (dalam huruf kecil) sehingga tidak menutup ruang bagi KPAI (termasuk KPAID) untuk melakukan sosialisasi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon berkaitan dengan persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 76 huruf a UU Perlindungan Anak tidak beralasan menurut hukum.
Sebagaimana diketahui, para Pemohon Perkara Nomor 85/PUU-XVII/2019 ini menguji Pasal 74 ayat (1), Pasal 74 ayat (2) sepanjang frasa “dalam hal diperlukan, kata dapat” dan frasa “atau lembaga lainya yang sejenis” dan Pasal 76 huruf a yang menyebut Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak.
Para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 74 ayat (1) UU Perlindungan Anak adalah norma hukum yang mengakui keberadaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang bersifat independen, akan tetapi dibatasi lingkup kelembagaannya oleh karena tidak mencakup sebagai satu kesatuan dengan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD). Keberadaan KPAI yang bersifat independen mengalami pelemahan organ strukturalnya dengan ketentuan Pasal 74 ayat (2) UU Perlindungan Anak yang menentukan pembentukan KPAD dihambat dengan syarat subyektif dan norma relatif serta tidak ada kepastian hukum berkeadilan yakni apabila pemerintah daerah membutuhkan.
Menurut para Pemohon, kelembagaan KPAD bukan organ pemerintah daerah (OPD) dan tidak mengabdi demi kebutuhan pemerintah daerah. Namun mengabdi demi hak konstitusional anak. Oleh karena itu norma pembatasan yang melekat pada pemerintah daerah melemahkan sistem organisasi KPAI karena pembentukan KPAD dibatasi jika sesuai demi kebutuhan pemerintah daerah, bukan manifestasi mandat konstitusi Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
Para Pemohon mendalilkan, penormaan Pasal 74 ayat (1) UU Perlindungan Anak yang demikian mengakibatkan tidak adanya dan tidak efektifnya infrastruktur pengawasan hak-hak anak di Indonesia yang dijamin Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 bahwa hak-hak anak merupakan hak konstitusional dari anak yang merupakan rakyat Indonesia sebagai pemilik constituent power. (Utami/AL/NRA).