JAKARTA, HUMAS MKRI - Permohonan uji Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) akhirnya dinyatakan tidak dapat diterima. Sidang pengucapan Putusan Nomor 13/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh Hendra Otekan Indersyah tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (19/05/2020) dengan dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Sebelumnya, Hendra yang berprofesi sebagai wiraswasta, menyebut dirinya mempunyai hak konstitusional untuk menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta Sisa Masa Bakti (SMB) 2017-2022. Ia merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada, yaitu Pemohon tidak memperoleh peluang secukupnya untuk turut dicalonkan/mencalonkan diri, yakni mulai penjaringan bakal calon kemudian menjalani fit and proper test, dan seterusnya, dalam Pemilihan Wakil Gubernur (Pilwagub) DKI Jakarta SMB 2017-2022.
Selain itu, Pemohon mendalilkan bahwa seharusnya Pemohon bisa turut memimpin manajemen pemerintahan daerah atau arah kemajuan pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dalam upaya penanggulangan persoalan-persoalan teknik sipil terutama tata air. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon tidak dapat menerangkan kerugian konstitusional baik aktual maupun potensial yang dialami oleh Pemohon dengan berlakunya pasal 176 ayat (2) UU Pilkada. Bahkan, seandainya pun uraian Pemohon dalam permohonannya dianggap sebagai uraian terhadap kerugian konstitusional, Pemohon dipandang tidak mengalami kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya norma a quo. Lebih lagi, tidak terdapat pula hubungan sebab-akibat antara anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon yang spesifik dengan berlakunya norma a quo.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan yang diajukan. Oleh karena itu, pokok permohonan tidak dipertimbangkan.
Suhartoyo melanjutkan meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon, karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.(Utami/RA/LA)