JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat diterima terhadap uji materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) terhadap UUD 1945.
Putusan Nomor 7/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh Michael dan Kexia Goutama yang merupakan mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta (PTS) di Jakarta, diucapkan pada Selasa (19/5/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang Putusan ini dilaksanakan saat masih berlangsungnya pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan upaya mendukung pencegahan persebaran Covid-19. Untuk itu, MK menerapkan pola penjarakan fisik (physical distancing) yang dilaksanakan sesuai dengan protokol kesehatan yang diatur Kementerian Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO).
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, Mahkamah menilai tidak ditemukannya uraian mengenai kerugian hak konstitusional para Pemohon yang disebabkan oleh berlakunya Pasal 176 UU Pilkada. Para Pemohon hanya menjelaskan hak konstitusionalnya dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, namun tidak menguraikan perlindungan seperti apa yang tidak diperoleh dengan tidak diisinya jabatan wakil gubernur dari kasus konkret yang disampaikan dalam permohonan.
Lebih lanjut, Daniel menyebutkan pula bahwa para Pemohon merasa tidak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, terutama saat Pemilihan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Tahun 2017. Namun, sambung Daniel, para Pemohon tidak dapat menerangkan kerugian konstitusional yang dialaminya tersebut. Sehingga Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
“Meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon,” ucap Daniel dihadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi enam hakim konstitusi lainnya.
Dalam sidang sebelumnya, Pemohon mendalikan Pasal 176 UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28H Ayat (3), dan Pasal 28I Ayat (5) UUD 1945. Menurutnya, apabila seorang menteri dipilih presiden, ketika menteri tersebut mengundurkan diri, maka penggantinya tetap dipilih oleh presiden. Demikian juga seharusnya dengan kepala daerah, ketika masyarakat memilih kepala daerah, pemilihan penggantinya pun harus tetap dipilih oleh masyarakat juga. Hal ini telah terjadi dalam sebuah kasus konkret pada 2017 atas diangkatnya Djarot Syaiful Hidayat sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Basuki Tjahja Purnama.
Menurut Pemohon, hal ini bermakna seseorang dapat saja menduduki suatu posisi kepala daerah tanpa melalui proses pemilihan kepada daerah (pilkada). Sehingga Pasal 176 UU Pilkada menciderai syarat 50 persen plus 1 suara sebagai syarat penetapan calon kepala daerah. Adapun Penetapan seorang kepala daerah yang diatur dalam Pasal 54D UU Nomor 1 Tahun 2015 adalah mereka yang mendapatkan suara sah lebih dari 50 persen ditambah satu suara, sedangkan angka apresiasi suatu partai politik tidak ada yang mencapai angka tersebut. Oleh karena itu, ketika wakil kepala daerah ditunjuk oleh partai politik tidak memenuhi syarat dalam melakukan penunjukan wakil kepala daerah. (Sri Pujianti/Halim/LA)