JAKARTA, HUMAS MKRI - Pengusaha Kursus Mengemudi menyampaikan perbaikan permohonan dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 14/PUU-XVIII/2020 pada Rabu (11/3/2020) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
“Untuk perbaikan yang kita lakukan saat ini adalah kami menambahkan norma Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai kewenangan Mahkamah. Selebihnya adalah di dalil dan argumentasi. Kami menambahkan untuk penguatan legal standing”, ujar Marcell Kurniawan (Pemohon I), seorang pengusaha lembaga kursus dan pelatihan mengemudi yang terakreditasi, instruktur lembaga kursus dan pelatihan mengemudi, dan asesor kompetensi mengemudi
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo selaku Ketua, dan Hakim Konstitusi Saldi Isra serta Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh sebagai anggota Panel Hakim, Pemohon juga menyampaikan alat-alat bukti mulai dari P-1 hingga P-12.
Lebih lanjut, Pemohon sebagai pihak yang berhubungan langsung dengan dunia pendidikan merasa berhak untuk memastikan bahwa sistem pendidikan nasional dapat berjalan dengan baik. Terkait dengan hal ini, Pemohon menyatakan bahwa frasa “belajar sendiri” ini tidak sesuai dengan semangat sistem pendidikan nasional.
“Frasa ‘belajar sendiri’ terdapat ketidakpastian hukum. Kami berhak untuk memajukan diri dan memperjuangkan hak untuk membangun masyarakat dan bangsa. Sementara, frasa ‘belajar sendiri’ ini menghambat perkembangan, baik dalam diri maupun dalam perusahaan,” jelas Marcell.
Baca Juga…
Instruktur dan Pengusaha Kursus Mengemudi Gugat UU LLAJ
Sebagaimana diketahui, pada sidang perdana, Rabu (19/2), Marcell Kurniawan (Pemohon I) dan Roslianna Ginting (Pemohon II) menguji Pasal 77 UU LLAJ. Pemohon merasa tidak ada kepastian pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum atas profesi yang digelutinya.
Menurut para Pemohon, kata “belajar sendiri” dapat melegitimasi calon pengemudi untuk tidak mengikuti pelatihan dari lembaga yang terakreditasi Pemerintah serta tidak pula melalui proses uji kompetensi dari lembaga sertifikasi kompetensi. Hal ini merugikan lembaga pelatihan mengemudi yang telah terakreditasi dan lembaga sertifikasi kompetensi yang ada. Pasalnya, tidak terdapatnya kekuatan hukum yang mewajibkan para calon pengemudi untuk dilatih dan disertifikasi oleh lembaga yang sah. Ketentuan tersebut juga dianggap mengancam hak hidup orang lain karena kata “belajar sendiri” di pasal a quo, menyebabkan banyak orang tidak kompeten dapat mengemudikan kendaraan di jalan dengan alasan belajar mengemudi. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang akhirnya akan menimbulkan kerugian materil dan imateriil.
Baca Juga…
Uji UU LLAJ: Sanksi Bagi Orang Tua yang Izinkan Anak Bermotor
Permohonan Uji UU Lalu Lintas Tak Ada Perubahan
Masih di waktu yang sama, MK juga menggelar sidang perbaikan permohonan untuk Perkara Nomor 15/PUU-XVIII/2020. Perkara yang diajukan para mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta, Novan Lailathul Rizky dkk, ini menguji materiil Pasal 311 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Para Pemohon mendalilkan bahwa dimungkinkannya anak di bawah umur mengendarai kendaraan bermotor tidak lepas dari peran orang dan/atau pemilik motor yang dengan sengaja memberikan dan/atau meminjamkan kendaraan bermotor kepada anak di bawah umur, berusia sekitar 7-10 tahun.
Lalu, pada sidang kali ini Pemohon yang diwakili Kuasa Hukumnya, Yohanes Mahatma Pambudianto, menyampaikan penambahan frasa. “Terhadap frasa ‘setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang’ sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk pengemudi yang belum memasuki usia dewasa secara hukum’ bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Yohanes.
Berdasarkan hal tersebut, para Pemohon dalam petitum-nya meminta MK menyatakan Pasal 311 UU LLAJ terhadap kata “perbuatan” bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dalam hal “perbuatan” dilakukan oleh pengemudi anak di bawah umur, pertanggungjawaban pidana juga dikenakan terhadap orang yang turut serta membiarkan, memberikan dan/atau meminjamkan kendaraan bermotor kepada anak di bawah umur. (Nano Tresna Arfana/ A.L./NRA)