JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) pada Rabu (11/3/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
Perkara yang teregistrasi Nomor 18/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh 4 orang anggota Bawaslu Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau Periode 2018–2023, yaitu Tiuridah Silitonga (Pemohon I), Indrawan Susilo Prabowoadi (Pemohon II), Nurhidayat (Pemohon III), dan Mohammad Fadli (Pemohon IV). Dalam permohonannya, para Pemohon mendalilkan Pasal 134 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) serta Pasal 143 ayat (2) UU Pilkada yang dinilai bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 134 ayat (4) yang berbunyi, ”Laporan pelanggaran pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diketahui dan/atau ditemukannya pelanggaran pemilihan,” terutama terkait frasa “hari” yang dimaknai sebagai hari kalender sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 28 UU Pilkada. Menurut para Pemohon, definisi “hari” dan perbedaan limitatif waktu tindak lanjut laporan pelanggaran pemilihan antara UU Pilkada dengan UU Pemilu menimbulkan permasalahan dalam upaya penegakan hukum.
“Perbedaan jangka waktu tindak lanjut penanganan pelanggaran antara UU Pilkada dan UU Pemilu terlihat sangat signifikan dan berpotensi mengurangi kualitas dalam tataran pelaksanaan penanganan, akibatnya ini berpotensi pada daluarsa dan kurangnya kepercayaan publik pada kinerja Bawaslu,“ demikian ucap Tiuridah dihadapan sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Penggunaan hari kalender tidak menghitung faktor geografis di Indonesia yang terbentang luas, khususnya kabupaten-kabupaten di wilayah Kepulauan Riau. Sebagain besar kecamatan di Kepulauan Riau ditempuh dengan menggunakan transportasi laut.
“Sehingga kata ‘hari’ dalam ketentuan a quo dinilai sangat singkat sehingga berpotensi daluarsa terhadap penyampaian laporan pelanggaran dan penyelesaian sengketa tidak dapat dilakukan secara komprehensif dan lebih optimal akibatnya berdampak pula pada turunnya kualitas proses penanganan penyelesaian sengketa,” lanjut Indrawan membacakan pokok-pokok permohonan para Pemohon.
Diagram Penjadwalan
Menanggapi permohonan para Pemohon, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyarankan para Pemohon untuk membuat diagram penjadwalan perbandingan hari kerja dan hari kalender terhadap kinerja Bawaslu dalam menyelesaikan sengketa pemilihan kepala daerah.
“Hal ini penting menjadi rujukan jelas bagi pertimbangan hakim konstitusi ketika nanti memutus kelanjutan perkara a quo,” saran Arief.
Bukti Empiris
Sementara itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam nasihatnya meminta agar para Pemohon mempelajari permohonan terdahulu terkait dengan keinginan provisi dari para Pemohon sehingga kejelasan keinginan itu terurai dan linear dengan logika sebuah permohonan Pemohon dalam mengajukan perkara di MK. Selanjutnya, Saldi pun meminta agar para Pemohon menjelaskan argumentasi mengenai waktu yang diberikan undang-undang yang dimaksudkan tersebut tidak cukup menurut para Pemohon.
“Belum ada bukti empirisnya bahwa hari sekian hari itu tidak cukup. Ini penting bahwa pemilu itu hasilnya tidak pasti, tetapi kepastian tahapan itu perlu dijaga. Maka jelaskan usulan ini dampaknya seperti apa pada tahapan penyelesaian penanganan pemilihan umum ini,” jelas Saldi.
Lebih lanjut, Saldi juga mencermati bahwa para Pemohon perlu untuk memberikan argumentasi yang kuat terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dicantumkan. Sehingga, terlihat ada keterkaitan antara hak-hak konstitusi yang terlanggar dengan keberlakuan UU Pilkada dengan norma dalam konstitusi.
Sebelum menutup sidang pendahuluan ini, Saldi mengingatkan agar para Pemohon menyempurnakan permohonan. Panel Hakim Konstitusi memberikan waktu kepada para Pemohon untuk menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Selasa, 24 Maret 2020 pukul 13.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/ASF/NRA).