JAKARTA, HUMAS MKRI - Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) Luthfi Widagdo Eddyono menerima kunjungan 43 orang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malahayati, Lampung di Ruang Delegasi MK pada Selasa (25/2/2020) siang. Dalam kunjungan tersebut, salah seorang dosen pembimbing menyebutkan bahwa tujuan kedatangan rombongan ke MK adalah untuk mencari ilmu dan mengetahui secara langsung mekanisme aktivitas hukum tata negara di lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK. Mulai dari ingin melihat tata letak ruang sidang, posisi hakim konstitusi, dan mengetahui lebih dekat keberadaan 9 hakim dalam menemukan berbagai solusi konstitusi yang dihadapi setiap Pemohon yang mengajukan perkara ke MK.
Dalam perkenalan awal, Luthfi memaparkan materi terkait pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia. Sesuai sejarah perjalanan konstitusi, menurut Lutfhi bahwa sebelum dilakukannya amendemen UUD 1945 maka pemegang kekuasaan kehakiman terpusat pada Mahkamah Agung. Barulah usai reformasi, MK dihadirkan sebagai lembaga baru yang berwenang menyelesaikan perkara-perkara konstitusionalitas norma.
“Sesungguhnya demokrasi saja tidak cukup. Masih perlu adanya prinsip demokrasi yang harus adanya prosesnya melalui pengujian undang-undang. Karena pada prinsipnya, mayoritas itu belum tentu benar. Maka, MK dalam keberadaanya tidak boleh mengabaikan suara-suara minoritas demi tegaknya konstutusi,” jelas Lutfhi yang telah menggeluti dunia penelitian hukum dan pemerintahan sejak 2005.
Selanjutnya Luthfi menukil bahasan mengenai kewenangan MK sebagai lembaga peradilan yang salah satu kewenangannya adalah menyelenggarakan sidang pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Bahwa dalam kewenangan ini, sambung Luthfi, MK harus menegakkan keadilan bagi setiap warna negara, baik perorangan maupun badan hukum serta masyarakat hukum adat untuk memeriksa dengan saksama apabila ada hak konstitusional yang terlanggar atas norma yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang. Kewenangan MK berikutnya adalah menyelesaikan sengketa lembaga negara yang keberadaan lembaga tersebut disebutkan dalam konstitusi.
Adapun kewenangan MK yang hingga saat ini menurut Luthfi yang belum terjadi adalah membubarkan partai politik. Hal ini dalam pendapatnya terjadi karena persyaratan pengajuan perkara ini haruslah dimohonkan oleh pemerintah dengan alasan yang harus terbukti bahwa ideologi partai politik yang bersangkutan bertentangan dengan UUD 1945. “Jadi memang sangat dibatasi. Walaupun sebenarnya kewenangan ini di beberapa negara lain, seperti Portugal kalau sebuah partai politik dapat saja dibubarkan karena masalah anggaran yang tidak transparan, akuntabilitas partai yang tidak baik, menerima dana ilegal, dan lainnya. Sedangkan di negara kita hal tersebut tidak dipakai karena hanya pemerintahlah yang harus mengajukan perkara ini,” terang Lutfhi.
Pada kesempatan ini, Luthfi juga mendorong para mahasiswa yang merupakan mahasiswa hukum yang di masa mendatang akan menjadi pakar-pakar hukum penerus bangsa untuk bergiat dan bersungguh-sungguh belajar. Agar kelak, kendati para mahasiswa tidak memilih menjadi advokat sekalipun, tetap dapat menjadi kuasa hukum di MK. Perannya adalah mendampingi Pemohon yang tidak memahami seluk-beluk hukum, namun perlu dibantu akibat adanya hak konstitusi yang terlanggar akibat keberlakuan sebuah norma undang-undang. (Sri Pujianti/NRA).