JAKARTA, HUMAS MKRI - Sejumlah 38 mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Semarang dengan didampingi 10 orang dosen melakukan kunjungan studi lapangan Ke Mahkamah Konstitusi pada Kamis (20/2/2020). Salah satu dosen pendamping yang hadir menyebutkan bahwa para mahasiswa yang fokus pada kajian biro konsultasi dan bantuan hukum yang telah dapat mata kuliah hukum ini, hadir ke MK karena ingin melihat jelas mengenai pelaksanaan dan wawasan tentang hukum konstitusi secara langsung.
Kehadiran para rombongan diterima Gregorius Seto Hariyanto mewakili Forum Konstitusi menjelaskan latar belakang lahirnya MK. Lelaki yang pernah menjabat sebagai anggota dewan pada masa 1999-2002 ini mengungkapkan pengalamannya terlibat langsung saat dilakukannya amendemen terhadap konstitusi.
Lebih jelas Seto menggambarkan bahwa pada 1998 terjadi suatu peristiwa puncak ketidakpuasan pada pemerintah Orde Baru. Sehingga presiden yang menjabat pada masa tersebut mengundurkan diri. Dengan pernyataan pengunduran diri, maka Presiden yang bersangkutan tidak berhadapan dengan MPR. Akibatnya, pemilihan umum pun dipercepat pada 1999 dan sebagai kesepakatan untuk memenuhi tuntutan reformasi.
“Jika Presiden dan MPR selama bersama maka tidak akan ada pemilihan umum karena yang ada tetap musyawarah. Belajar dari negara lain, maka dibentuk MK secara sadar untuk menjaga keutuhan UUD sehingga pemilu yang demokratis pun di masa mendatang dapat terwiujud,” jabar Seto di hadapan para rombongan di Ruang Aula Lantai Dasar MK.
Dengan adanya lembaga yang diberi nama Mahkamah Konsitusi, maka masyarakat mulai dapat mengajukan pengujian undang-undang yang telah dibuat pembuat undang-undang apabila tidak selaras dengan UUD 1945. Di samping itu, MK pun diberikan beberapa tugas tambahan lainnya seperti menyelesaikan perselisihan antarlembaga negara karena usai reformasi semua lembaga negara memiliki kedudukan yang sama. Berikutnya, MK juga diberikan weweang untuk menyelesaika perselisihan hasil pemilihan umum seperti yang telah dilakukan pada 2019 lalu serta MK juga berkewajiban untuk memperikan pertimbangan atau putusan apabila ada sangkaan presiden melanggar konstitusi.
“Seperti kita ketahui sebelum adanya amendemen, maka dalam Ketetapan MPR presiden dapat diberhentikan jika tidak sesuai dengan haluan negara. Ini terlalu politis sehingga kita sepakat pada masa itu untuk mempertegas prinsip presidensiil. Dengan demikian semua menjadi lebih pasti karena jika Presiden mau diberhentikan bukan karena masalah politik tapi pidana,” jelas Seto.
Usai menjabarkan perihal sejarah demokrasi dan konstitusi di Indonesia, Seto membuka kesempatan bagi para mahasiswa untuk berdiskusi menyampaikan pendapat dan pertanyaan terkait konstitusi. (Sri Pujianti/LA)