JAKARTA, HUMAS MKRI – Penyebaran anggota Asosiasi Gabungan Operator TV Kabel Indonesia (GO TV Kabel Indonesia) selain di daerah yang maju dan di pedalaman, pegunungan, perbatasan negara tetangga bertujuan membantu negara menyebarluaskan pada seluruh rakyat Indonesia yang belum terpapar informasi melalui bidang penyiaran. Selain juga turut membantu pemerintah dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demikian disampaikan Candi Sinaga, mewakili GO TV Kabel Indonesia sebagai Pihak Terkait pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) pada Senin (24/2/2020) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dikatakan Candi, saat ini para anggota TV kabel tersebut melakukan penyiaran dengan menyediakan 10 persen dari kapasitas kanal saluran untuk menyalurkan program dari lembaga penyiaran publik dan lembaga penyiaran swasta. Akan tetapi, ia mengungkapkan bahwa telah mendapatkan intimidasi dan tekanan dari grup-grup TV besar di Indonesia.
“Namun selalu saja mendapatkan tekanan dan intimidasi dari grup-grup TV besar di Indonesia, baik melalui peringatan somasi, laporan kepolisian, bahkan ada yang menjadi tersangka oleh kepolisian di daerah. Walaupun dalam aturan kami sudah memenuhi kewajiban kami sebagai usaha mikro kecil menengah dan taat pada aturan, tapi anggota diperlakukan layaknya seperti seorang kriminal oleh grup-grup TV besar yang telah melakukan somasi dan laporan ke polisi dengan dalil hukum Undang-Undang Hak Cipta,” ungkap Candi kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Candi menjelaskan sejumlah persoalan muncul yang menghilangkan hak-hak konstitusional anggota GO TV Kabel Indonesia dalam menjalankan perintah Undang-Undang Penyiaran. Namun Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkesan tidak dapat berbuat apa-apa terhadap hal tersebut. Padahal berdasarkan hasil Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI pada 2019 telah menetapkan bahwa program free to air gratis di lembaga penyiaran berlangganan. Ditambah lagi adanya nota kesepahaman antara KPI dan Polri tentang penyelenggaraan penegakan hukum bantuan teknis dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia di bidang penyiaran. Nota kesepahaman ini pada intinya mengatur tindak pidana di bidang penyiaran. Namun kenyataannya, setiap kali polisi mendapat laporan terkait angggota GO TV Kabel Indonesia, polisi langsung menetapkan anggota GO TV Kabel Indonesia menjadi tersangka.
Baca juga: Dilarang Transmisikan Informasi Elektronik, Lembaga Penyiaran Berlangganan Gugat UU ITE
Menjunjung Peraturan Perundang-Undangan
Dalam persidangan juga hadir Mulyadi Mursali dari Indonesia Cable Television Association (ICTA) yang bertujuan mewujudkan usaha TV kabel yang mandiri, menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan Republik Indonesia serta disiplin dan beretika dalam mewujudkan masyarakat penyiaran yang terdidik, bermartabat dan bertanggung jawab. Selain itu, ICTA melakukan upaya perlindungan menjaga kelangsungan usaha, pemberdayaan, serta memberi saran dan bimbingan advokasi dalam masalah hubungan dan sengketa ketenagakerjaan.
Sementara itu, Ivone Woro Respatiningrum kuasa hukum para Pihak Terkait seperti PT. Kalimantan Multimedia dan tujuh perusahaan lainnya, menyebutkan Bab X UUD 1945 yang mengatur tentang hak asasi manusia, khususnya dalam Pasal 28F disebutkan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
“Kami adalah pengusaha dari golongan usaha kecil dan menengah yang berbadan hukum dan sedang melakukan usaha penyiaran. Bahwa ada beberapa jenis usaha dalam bidang penyiaran yaitu lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran komunitas, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran berlangganan yang memiliki aturan dalam menyelenggarakan penyiaran sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Usaha kami adalah menyelenggarakan penyiaran berlangganan melalui kabel dan sudah mendapatkan izin penyelenggaran penyiaran dari pemerintah. Dalam hal ini izin dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika,” jelas Ivone.
Namun demikian, sambung Ivone, ketika sedang menjalankan usaha penyiaran TV kabel, mereka mendapat somasi dari pengusaha besar media penyiaran dengan memerintahkan tidak lagi melakukan penyiaran saluran lembaga penyiaran swasta, atas dugaan pelanggaran maupun tindak pidana di bidang penyiaran.
Sebagaimana diketahui, Pemohon Perkara No. 78/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh PT. Nadira Intermedia Nusantara yang menguji Pasal 32 ayat (1) UU No. 11/2008, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.”
Juga Pasal 25 ayat (2) huruf a UU No. 28/2014, “Hak ekonomi Lembaga Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak melaksanakan sendiri, memberikan izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan: a. Penyiaran ulang siaran …”
Pemohon mendalilkan, telah dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 25 Ayat (2) huruf a UU Hak Cipta karena dianggap melakukan “penyiaran ulang siaran”. Pemohon yang melaksanakan ketentuan UU Penyiaran untuk menyalurkan paling sedikit 10% dari program lembaga penyiaran publik (TVRI) dan lembaga penyiaran swasta (TV-TV swasta yang bersiaran secara free to air) justru dilaporkan oleh karyawan PT. MNC SKY VISION ke pihak kepolisian karena menayangkan hasil karya cipta TV MNC Group. (Nano Tresna Arfana/Halim/LA)