JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) di Ruang Sidang Pleno MK, Rabu (19/2). Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 14/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Marcell Kurniawan (Pemohon I) dan Roslianna Ginting (Pemohon II). Para Pemohon mendalilkan Pasal 77 UU LLAJ yang berbunyi, “Untuk mendapatkan surat izin mengemudi, calon pengemudi harus memiliki kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan atau belajar sendiri,” bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28B, dan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945.
Marcell mempermasalahkan frasa “belajar sendiri” pada pasal tersebut yang dianggap bisa mengancam hak hidup orang lain. Dalam hal ini, akan banyak orang yang tidak kompeten saat berkendara di jalan karena sedang belajar mengemudi. Keadaan seperti ini dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan saat latihan. Di samping itu, Pemohon I yang berprofesi sebagai instruktur mengemudi dan asesor kompetensi mengemudi, merasa dirugikan dengan ketentuan a quo karena tidak memiliki kepastian atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum atas profesi yang ditekuninya. Alasan berikutnya, Pemohon II selaku pengusaha lembaga kursus dan pelatihan mengemudi merasa tidak ada jaminan perlindungan atas lembaga kursus dan pelatihan yang telah terakreditasi oleh Pemerintah akibat kompetensi seorang pengemudi dapat diperoleh dengan “belajar sendiri.”
Pemohon berasumsi, kata “belajar sendiri” dapat melegitimasi calon pengemudi untuk tidak mengikuti pelatihan dari lembaga yang terakreditasi Pemerintah serta tidak pula melalui proses uji kompetensi dari lembaga sertifikasi kompetensi. “Sehingga hal ini merugikan lembaga karena tidak terdapatnya kekuatan hukum yang mewajibkan para calon pengemudi untuk dilatih dan disertifikasi oleh lembaga yang sah,” jelas Marcell di hadapan sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Oleh karena itu, melalui petitum para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal Pengujian
Menanggapi permohonan, Saldi menasihati perlunya para Pemohon mencermati pasal yang diuji mengingat yang diajukan pada pemohonan adalah keseluruhan Pasal 77 UU LLAJ. Atas hal ini, Saldi mengingatkan dampak pada pembatalan pasal tersebut jika kelak diterima atau dikabulkan Mahkamah. Untuk itu, para Pemohon diharuskan memperbaikinya dengan fokus pada permasalahan yang merugikan. Selain itu, Saldi juga mengamati kedudukan hukum para Pemohon atas keberlakuan norma a quo terkait kerugian potensial yang dialami. “Jika tidak memiliki legal standing, maka pokok permohonan tidak akan dilanjutkan. Jadi, kerugian konstitusional mana yang merugikan para Pemohon sehingga terlihat keterkaitannya,” jelas Saldi.
Sementara itu, Daniel mengamati permintaan para Pemohon agar frasa “belajar sendiri” dihilangkan pada pasal a quo. Terhadap hal ini, Daniel meminta agar para Pemohon memahami hakikat dari keberlakuan putusan MK yang bersifat erga omnes dan berlaku bagi seluruh warga negara yang ada di Indonesia. “Sehingga perlu dipertanyakan apakah di seluruh Indonesia sudah tersedia tempat kursus, tetapi tidak digunakan secara optimal. Jadi coba dipertimbangkan, jika frasa itu dihilangkan maka apakah kita tidak boleh belajar mengemudi secara otodidak,” terang Daniel.
Berikutnya, Suhartoyo meminta agar para Pemohon untuk memperkuat argumentasi alasan permohonan sehingga hal ini pun dapat memperkuat kedudukan hukumnya. “Kerugiannya di mana sebagai pengusaha mengemudi? Bagaimana belajar sendiri itu di tempat yang aman, di lapangan, apakah tidak boleh juga?” tanya Suhartoyo.
Di penghujung persidangan, Suhartoyo mengingatkan para Pemohon agar menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Selasa, 3 Maret 2020 pukul 13.30 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/A.L./LA)