JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat diterima terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam sidang Putusan yang digelar pada Rabu (29/1/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam permohonannya, Erko Mojra yang merupakan Aparatur Sipil Negara mengujikan konstitusionalitas Pasal 197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h, dan ayat (2) KUHAP.
Terhadap perkara Nomor 69/PUU-XVII/2019 ini, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul membacakan pertimbangan hukum Mahkamah bahwa permohonan Pemohon hanya memuat kewenangan Mahkamah dan kedudukan hukum serta petitum tanpa menyertakan alasan permohonan. Tanpa adanya uraian tersebut, maka sebuah permohonan akan kehilangan landasan untuk dinilai muatan materi yang dipersoalkan Pemohon. Selain itu, jelas Manahan, Pemohon dalam bagian alasan permohonan memohon kepada Mahkamah melakukan penambahan norma pada Pasal 197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h dan ayat (2) KUHAP, membuat permohonan Pemohon menjadi semakin tidak jelas.
Sehubungan dengan uraian dan sistematika permohonan Pemohon, dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang dilaksanakan pada 19 November 2019, Panel Hakim telah menasihati Pemohon untuk menguraikan dengan jelas alasan Pemohon yang menganggap norma undang-undang yang diujikan tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Serta Pemohon juga diminta untuk mempersingkat uraian mengenai kasus konkret yang dialami Pemohon. Namun, dalam perbaikan permohonan yang diterima Mahkamah pada 2 Desember 2019, permohonan Pemohon tetap tidak jelas karena alasan permohonan bercampur dengan banyaknya uraian kasus konkret yang dialami oleh Pemohon.
“Sebagaimana ketentuan Pasal 51A ayat (2) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) PMK 06/2005 apabila Pemohon tidak menguraikan dengan jelas mengenai alasan pertentangan antara norma yang diuji dengan UUD 1945 yang semestinya termuat dalam alasan permohonan, dengan demikian permohonan Pemohon haruslah dinyatakan tidak jelas atau kabur,” ucap Manahan di hadapan sidang Pengucapan Putusan yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya.
Untuk informasi bahwa Pemohon menguraikan dirinya adalah Warga Negara Indonesia yang berstatus sebagai Terdakwa berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Kasongan Nomor 99/Pid.Sus/2018/PN.Ksn, tanggal 29 April 2019, dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Palangkaraya Nomor 35/PID.SUS/2019/PT.PLK, tanggal 13 Juni 2019, dan dikuatkan kembali oleh Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3303 K/Pid.Sus/2019, tanggal 17 Oktober 2019. Sehubungan dengan hal tersebut, dirinya merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 197 ayat (2) dalam hubungannya dengan Pasal 197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h KUHAP.
Pemohon menyebutkan ia belum menerima salinan putusan tingkat Kasasi. Apabila salinan telah dikirimkan dan diterima oleh para pihak, maka putusan-putusan tersebut akan berstatus kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Menurutnya, frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 197 ayat (2) dalam hubungannya dengan Pasal 197 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h KUHAP tidak jelas, tidak tegas, ambiguitas, dan multitafsir sehingga kontraproduktif dengan tujuannya. Yang salah satunya, adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia sehingga dengan demikian tidak memberikan kepastian serta perlindungan hukum yang adil bagi Pemohon.
(Sri Pujianti/NRA)
https://youtu.be/Tw_WBtzC8dM