JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat diterima terkait pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Putusan dengan Nomor 84/PUU-XVII/2019 ini dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu (29/1/2020). Perkara ini dimohonkan oleh dua advokat atas nama Martinus Butarbutar dan Risof Mario. Dalam permohonannya, para Pemohon mendalikan Pasal 12B, Pasal 21 ayat (1) huruf a, Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 38, Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK bertentangan UUD 1945.
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebutkan bahwa para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya tidak menuliskan kerugian konstitusional yang sebenarnya diderita dengan keberlakuan Pasal 37C ayat (2) UU KPK. Para Pemohon hanya mengedepankan mengenai UU KPK dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan negara dapat mengancam setiap pribadi rakyat Indonesia. Menurut Mahkamah, jelas Arief, uraian kerugian konstitusional tersebut tidak secara spesifik dan aktual terhadap berlakunya pasal yang diujikan.
Para Pemohon hanya menguraikan kerugian secara umum atas keberlakuan UU KPK, namun tidak secara jelas dan detail kerugian sesungguhnya yang diderita oleh para Pemohon sebagai warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat dengan berlakunya UU KPK. “Sehingga tidak nampak adanya hubungan sebab akibat dari keberlakuan UU a quo,” ucap Arief di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya.
Bukan Alas Kerugian
Dalam menerangkan kerugian hak konstitusionalnya, Arief berkata bahwa para Pemohon hanya menyandarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menurut Mahkamah ketentuan dimaksud bukanlah merupakan alas untuk menyatakan kerugian hak konstitusional. Sebab, ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 berkaitan dengan konsep negara hukum yang sama sekali tidak menerangkan hak-hak konstitusional warga negara. Dengan demikian menurut Mahkamah, para Pemohon tidak dapat menerangkan kerugian konstitusional, baik aktual maupun potensial yang dialami oleh para Pemohon dengan berlakunya norma a quo. “Oleh karenanya, para Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK,” terang Arief.
Dalam sidang sebelumnya, para Pemohon menilai telah terjadi pemindahan kewenangan yang justru dilakukan oleh UU KPK. Sehingga pimpinan dan penyidik KPK sudah seharusnya tidak memiliki wewenang dalam pelaksanaan UU KPK yang dimaksud. Oleh karena yang diatur dalam UU KPK adalah kewenangan menjalankan hukum acara pemberantasan tindak pidana korupsi, maka dengan ketentuan yang mengatur hak Dewan Pengawas untuk memberikan izin atau tidak memberikan izin pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, penggeledahan, penyadapan, dan lainnya patut dimaknai bahwa kewenangan yang ada tersebut adalah kewenangan Dewan Pengawas saja.
Dengan demikian, pembuat undang-undang telah dengan tidak jujur membangun asumsi seolah-olah Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) adalah lembaga yang merupakan subordinat dari pemerintah. Asumsi ini keliru atau dikelirukan pembuat udang-undang, yang kemudian membangun kesan cukup alasan bagi pemerintah membentuk seolah-olah organ yang disebut Dewan Pengawas. Padahal, pengertian serumpun pada lembaga tersebut seharusnya dimaknai bahwa selain pemerintah ada lembaga eksekutif lainnya yang juga menjalankan sifat dan eksekutifnya di luar pemerintah. Bahwa, lembaga serumpun eksekutif itu tidak saling mengatasi, bukan cabang pemerintah, dan tidak dalam posisi subordinat satu sama lain. Untuk itu, para Pemohon melalui petitumnya, memohonkan agar Mahkamah menyatakan UU KPK bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. (Sri Pujianti/L
https://youtu.be/9HqYp291f7M