JAKARTA, HUMAS MKRI - Konsep pengalihan program jaminan sosial yang diselenggarakan PT Taspen terkait dengan jaminan hari tua dan pensiun PNS pada BPJS Ketenagakerjaan, berangkat dari prinsip kegotongroyongan sebagaimana diatur Pasal 4 Undang-Undang SJSN yang mengatur prinsip-prinsip penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional.
Hal tersebut disampaikan oleh Sri Rahayu selaku perwakilan DPR RI dalam menyampaikan keterangan DPR atas pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) pada Senin (27/1/2020). Permohonan Nomor 72/PUU-XVII/2019 dimohonkan oleh para pensiunan dan PNS aktif. Dalam permohonannya, para Pemohon mendalilkan Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU BPJS yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Lebih lanjut, Rahayu menjabarkan bahwa prinsip tersebut sejatinya sejalan dengan Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Konstitusi Nomor 138/PUU-XII/2014 terkait pengujian Pasal 5 ayat (1) UU SJSN. Bahwa pengalihan dari PT Taspen (Persero) ke BPJS sebagaimana dimaksud pada pasal-pasal tersebut justru menjamin terpenuhinya hak atas jaminan sosial yang disediakan negara.
“Oleh karena itu, menjadi wajar bahwa konsep jaminan sosial tidak lagi diserahkan BUMN yang berorientasi pada profit PT Taspen, melainkan dialihkan pada badan hukum publik khusus yakni BPJS. Sehingga keuntungan diperoleh, digunakan, dan dikembalikan pada manfaat yang diterima peserta BPJS Ketenagakerjaan,” terang Rahayu di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Selain itu, alasan diaturnya Pasal 65 UU BPJS adalah guna mengakomodir lancarnya proses transformasi program jaminan sosial yang telah diselenggarakan PT Taspen pada BPJS Ketenagakerjaan. Jadi, jelas Rahayu, pengalihan tersebut merupakan penguatan sistem dan kelembagaan untuk mengembangkan sistem jaminan sosial, nasional, dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi nilai manfaat dan pelayanan terbaik yang diberikan kepada warga negara.
Pengaturan Khas
Pada kesempatan yang sama, Pemohon pun menghadirkan tiga ahli yakni, Dian Puji Simatupang yang merupakan Ahli Hukum dari Universitas Indonesia, Wawan Hafid Syaifuddin yang merupakan Aktuaris dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember, dan Maruarar Siahaan yang merupakan Hakim Konstitusi Periode 2003 – 2006.
Dian dalam keterangannya menyampaikan bahwa hakikatnya pengaturan jaminan sosial bagi aparatur sipil negara dan pejabat negara memiliki karakteristik yang khas dan khusus. Hal ini dilakukan guna mendorong kualitas pelayanan publik dan kualitas penyelenggaraan pemerintahan umum. Sehingga, kinerja aparatur sipil negara dan pejabat negara tersebut akan meningkat secara harmonis sejalan dengan tuntutan, harapan masyarakat, dan tata pemerintahan yang baik. Adanya kepastian hukum jaminan sosial bagi aparatur sipil negara dan pejabat negara merupakah salah satu faktor pencegahan penyimpangan.
Untuk itu, harus diminimalisasi kemungkinan perubahan pengaturan jaminan sosial yang berdampak pada penurunan manfaat dan kemungkinan terjadinya risiko beban pembayaran jaminan sosial yang besar yang harus dibayarkan oleh APBN. Dari segi pembiayaan, sambung Dian, jaminan sosial aparatur sipil negara dan pejabat negara merupakan belanja pegawai yang selalu dialokasikan di dalam APBN, termasuk pembayaran atas jaminan sosial. Kewajiban pembayaran jaminan sosial merupakan kewajiban yang diatur undang-undang yang bersifat istimewa dalam hal risiko fiskal dan kewajiban negara. “Oleh sebab itu, pengaturan jaminan sosial aparatur sipil negara dan pejabat negara selalu terdapat petunjuk dan pertimbangan Menteri Keuangan karena memang menyangkut risiko fiskal atau terkait dengan beban keuangan negara,” terang Dian.
Di samping itu, menurut Dian bahwa jaminan sosial ASN dan pejabat negara merupakan bentuk penghargaan negara dan hubungan hukum sebagai pemberi kerja dan bukan sebagai regulator yang bersifat umum. Sedangkan jaminan sosial bagi masyarakat umum, adalah sebagai satu bentuk perlindungan sosial untuk memenuhi kebutuhan dasar berupa hidup secara layak. Adapun jaminan sosial bagi ASN dan pejabat negara sebagai perlindungan kesinambungan kehidupan dan sebagai hak atas penghargaan dan pengabdiannya. “Dari karakternya saja, sudah sangat berbeda. jaminan sosial bagi masyarakat umum adalah pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya dasar, sedangkan bagi aparatur sipil negara dan pejabat negara, pemenuhan hak ekonomi, sosial, budaya berkelanjutan,” jelas Dian.
Perbedaan Perhitungan
Aktuaris Wawan Hafid Syaifuddin dalam keterangannya menyampaikan perbandingan potensi yang akan dialami para Pemohon dan warga negara denganmenggunakan acuan formula matematika. Dalam simpulan, Wawan menemukan adanya perbedaan besar antara perhitungan dari pensiun pokok dengan aturan baru dengan ketentuan lama.
Sementara itu, Maruara Siahaan menerangkan bahwa berbedanya badan yang menyelenggarakan jaminan sosial dalam sistem jaminan sosial yang bersumber dari UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004, maka eksistensi badan-badan penyelengara jaminan sosial yang sudah ada sebelumnya tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. “Karena secara keberadaan, pengalaman, dan perbedaan kelompok-kelompok orang yang dilayani badan penyelenggara jaminan sosial yang berbeda tersebut tidak sama, terutama dilihat dari pemberi kerja, sifat pekerjaan, dan permasalahannya,” kata Maruara.
Adapun mengamati perkembangan yang ada akhir-akhir ini, Maruara melihat bahwa pemahaman akan prinsip gotong royong bukan hanya terlaksana secara individual di antara peserta jaminan sosial yang wajib, melainkan juga di antara badan penyenggara yang ada untuk gotong royong ketika dana hasil pengembangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengalami kerugian karena kesalahan investasi atau kesalahan lain yang dilakukan oleh pengurus penyelenggara badan penyelenggara tersebut.
Dalam permohonannya, para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena terjadi penurunan manfaat dan layanan akibat pengalihan layanan program Taspen pada BPJS yang selama ini telah dirasakan manfaatnya oleh para Pemohon. Menurut para Pemohon, kebijakan atau politik hukum pemerintah menganut keterpisahan manajemen tata kelola jaminan sosial antara pekerja yang bekerja pada penyelenggara negara dengan pekerja yang bekerja selain pada penyelenggara negara. Hal tersebut termaktub dalam PP 45/2015 juncto PP 46/2015 yang menegaskan bahwa Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun bagi Peserta pada pemberi kerja penyelenggara negara dikecualikan dalam PP tersebut dan diamanatkan untuk diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri.
Dengan demikian, menurut para Pemohon, pembentuk undang-undang menghendaki pelaksanaan penyelenggaraan program Jaminan Pensiun dan program jaminan hari tua bagi PNS dan Pejabat Negara (Pegawai yang bekerja pada penyelenggara negara), diselenggarakan secara terpisah dari pengelolaan program Jaminan Pensiun dan Jaminan Hari Tua bagi pegawai yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara negara (swasta). Hal ini menyebabkan para Pemohon merasakan adanya potensi kehilangan hak-hak terkait keuntungan yang selama ini didapatkan melalui keikutsertaan dalam Program Jaminan Sosial dan Tabungan Hari Tua akan hilang sejalan dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal yang diujikan. (Sri Pujianti/LA)