Jakarta, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) pada Rabu (22/1/2020) di Ruang Sidang MK. Sidang yang teregistrasi dengan Nomor 66/PUU-XVII/2019 ini dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto.
Pada sidang ketiga ini, Dipo Nusantara Pua-Pua mewakili DPR menyampaikan bahwa para pemohon tidak memiliki hubungan langsung dengan Undang-Undang MD3. Hal ini membuat kedudukan hukum pemohon dipertanyakan. Pemerintah berdalih bahwa DPR telah memiliki revisi terbaru dari Undang-Undang MD3. Sedangkan yang diajukan oleh pemohon merupakan RUU sebelum direvisi. Mereka juga menyebutkan bahwa UU MD3 telah dimuat dalam prolegnas tahun 2015-2019.
“Berdasarkan kronologis pembahasan Undang-Undang MD3 Perubahan Ketiga tersebut, pembentukan undang-undang telah melakukan semua proses dan mekanisme sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” jelas Dipo
Selanjutnya, Dipo menyampaikan bahwa jumlah anggota DPR periode 2019-2024 bertambah. Hal ini berpengaruh pada bertambah jumlah pimpinan MPR yang semula hanya berjumlah 5 orang menjadi 10 orang. Dalih pemohon yang menganggap adanya keberpihakan pimpinan dengan Partai Politik tertentu salah. Justru dengan bertambahnya pimpinan menjadi 10 anggota, telah menciptakan keadilan dan mengembangkan mekanisme check and balances. Selanjutnya mereka juga menyebutkan bahwa pembentukan UU tersebut telah sesuai dengan pasal 11 ayat (4) tata tertib DPR.
DPR juga menyebutkan bahwa masalah yang dimohonkan bukanlah permasalahan konstitusionalitas norma, namun merupakan masalah teknis. Di akhir, DPR meminta agar Majelis Hakim Konstiusi menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya atau tidak diterima.
Sementara perwakilan dari pemerintah, yakni Andriansyah memberikan keterangan yang cukup singkat. Pemerintah menganggap bahwa pembentukan UU MD3 telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dalam pembahasannya telah intensif dilakukan oleh DPR dan Presiden.
Sebelum menutup sidang, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebutkan bahwa keterangan DPR dan Pemerintah terlalu substantif karena permohonan pemohon terkait dengan uji formil Undang-undang. Beliau meminta kepada kedua belah pihak untuk melengkapi keterangan tentang proses pembentukan Undang-Undang tersebut beserta risalah pembahasannya.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon mengatakan kerugian konstitusionalnya lebih menitikberatkan pada mandat yang diberikan oleh warga negara perorangan kepada DPR agar melaksanakan tugasnya secara adil, jujur dan bertanggung jawab untuk kepentingan rakyat. Kerugian konstitusional dalam pengujian formil terbukti ada apabila Pemohon merasa DPR tidak melaksanakan fiduciary duty yang telah diamanatkan oleh rakyat secara adil, fair, jujur dan bertanggung jawab. Padahal Pemohon telah menggunakan hak pilihnya untuk memilih anggota DPR dalam pemilihan umum.
Menurut Pemohon, dalam UUD 1945 tidak diatur lebih lanjut selain dari adanya keharusan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Jika semata-mata formalitas pembentukan undang-undang diuji formalitasnya berdasarkan UUD 1945, tentunya semua undang-undang yang telah disetujui oleh DPR dan Presiden tidak akan pernah bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, Pemohon menilai tidak akan pernah ada pengujian formil atas suatu undang-undang karena faktanya setiap undang-undang yang telah diundangkan selalu memperoleh persetujuan dari kedua lembaga negara tersebut.
Selain itu, Pemohon juga mengatakan, UU Perubahan Ketiga UU MD3 dibentuk dengan melanggar prosedur dan tata cara sebagaimana telah ditentukan dan diatur dalam Tatib DPR. Rancangan UU Perubahan Ketiga UU MD3 tidak dimuat dalam Prolegnas 2015-2019 maupun Prolegnas Prioritas 2019. Jika Rancangan UU Perubahan Ketiga UU MD3 diajukan di luar Prolegnas, maka rancangan itu hanya dapat diajukan oleh DPR dan Presiden. Pemohon pun menilai perubahan muatan dalam Pasal 15 UU MD3 tidak didorong oleh kebutuhan mengisi kekosongan hukum atau keadaan genting. Sebaliknya, hal tersebut dipandang Para Pemohon cenderung mengakomodasi kepentingan politik dari partai-partai politik; memberikan setiap fraksi partai politik satu posisi Pimpinan MPR RI, yaitu Ketua atau Wakil Ketua.
Dalam permohonannya, Para Pemohon juga berargumen bahwa UU MD3 tidak didukung oleh naskah akademik yang mumpuni secara sosiologis dan filosofis. Sehingga, Perubahan Ketiga UU MD3 tidak memenuhi asas-asas pembentukan perundang-undangan atau dengan kata lain cacat prosedur. (Rian/Olin/Audi/LA)