JAKARTA, HUMAS MKRI – Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) M. Mahrus Ali menerima kunjungan 28 mahasiswa Fakultas Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) An-Nawawi, Purworejo, Jawa Tengah, pada Senin (20/1/2020) di ruang Delegasi MK.
“Kedatangan kami ke Mahkamah Konstitusi selain silaturahim, juga ingin mendapatkan berbagai hal mengenai Mahkamah Konstitusi,” kata Dosen STAI An-Nawawi, Muhaini.
Pada kesempatan tersebut, M. Mahrus Ali menerangkan sekilas sejarah dan kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Pada 13 Agustus 2020, kata Ali, MKRI genap berusia 17 tahun. “Apa itu MK dan mengapa harus ada MK? Itu pertanyaan mendasar yang sering muncul dari para mahasiswa,” ujar Ali.
Dikatakan Ali, Mahkamah Konstitusi diartikan sebagai pengadilan tata negara yang berlandaskan konstitusi. Mahkamah Konstitusi lahir dilatarbelakangi reformasi di Indonesia pada 1998 dan berlanjut dengan perubahan UUD 1945.
“Dalam tuntutan reformasi yang paling esensial adalah bagaimana menjalankan sistem ketatanegaraan yang berdasarkan hukum dan konstitusi. Hal inilah yang mendasari lahirnya undang-undang yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi. Seandainya tidak ada reformasi dan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, maka Mahkamah Konstitusi tidak akan berdiri,” papar Ali.
Ali menerangkan beberapa kewenangan MK yaitu menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu. Selain itu ada kewajiban untuk memutus pendapat DPR apabila Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran. Ada juga kewenangan MK memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah.
“Kewenangan (memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah) ini disebut kewenangan transisi. Artinya MK berwenang memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah sampai terbentuknya peradilan khusus yang menangani sengketa hasil pemilihan kepala daerah,” imbuh Ali.
Selanjutnya Ali menjelaskan beberapa undang-undang yang sudah dibatalkan secara keseluruhan oleh MK, antara lain Undang-Undang Ketenagalistrikan, Undang-Undang Sumber Daya Air, Undang-Undang Koperasi dan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.
Hal lainnya, Ali mengungkapkan pengujian undang-undang di MK yang berkaitan dengan Hukum Islam. Misalnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang sudah diuji MK sebanyak tujuh kali. Uji UU Perkawinan yang dikabulkan yakni Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 mengenai status anak di luar kawin. Permohonan ini diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar yang akrab dipanggil Machica Mochtar. Materi yang diuji yakni Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
“Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut bisa dikatakan cukup kontroversial, mengundang banyak komentar berbagai pihak. Bahkan muncul Fatwa MUI juga,” kata Ali.
Ali menerangkan, UU Perkawinan menerangkan status anak di luar kawin hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya. Tapi setelah ada putusan MK, anak di luar kawin tidak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya. Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 itu pada intinya menyatakan hubungan perdata anak luar kawin bukan saja terhadap ibunya dan keluarga ibunya, tapi juga terhadap laki-laki sebagai ayahnya.
Selengkapnya Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan setelah Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
(Nano Tresna Arfana/NRA).