JAKARTA, HUMAS MKKI - Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) kembali diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (20/1/2020). Perkara yang teregistrasi Nomor 4/PUU-XVII/2020 ini dimohonkan Penetina Cani Cesya Kogoya yang berprofesi sebagai karyawan swasta. Dalam permohonan ini, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 6 ayat 2 UU Otsus Papua yang berbunyi, “DPRP terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang-undangan” dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Habel Rumbiak selaku kuasa hukum Pemohon menyebutkan bahwa pemilu merupakan aktualisasi nyata demokrasi. Rakyat dapat menyatakan kedaulatan dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah khususnya lagi pada daerah yang menganut asas desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam perkara tersebut, sambung Rumbiak, dengan adanya praktik pengangkatan anggota DPRP Provinsi Papua dan Papua Barat yang dilakukan pemerintahan daerah merupakan tindakan penyimpangan terhadap demokrasi yang telah dianut dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, menegasikan prinsip kedaulatan rakyat, menciptakan diskriminasi, ketidakadilan, dan berpotensi menimbulkan konflik.
Lebih lanjut Rumbiak menguraikan bahwa dalam kenyataannnya, menurut Gubernur Papua bahwa pengangkatan anggota DPRP menimbulkan konflik. Sehingga sebaiknya keanggotaan DPRP 2014 – 2019 diteruskan pada periode berikutnya agar tidak menimbulkan permasalahan-permasalahan baru. Sebaliknya, di Provinsi Papua Barat dalam rekrutmen calon-calon anggota DPRP, melalui pengangkatan terjadi masalah hukum karena seorang Ketua Majelis Rakyat Provinsi Papua Barat ditunjuk dan menjadi anggota panitia seleksi.
Kekacauan dalam mekanisme pengangkatan anggota DPRP ini, jelas Rumbiak, menunjukkan adanya proses rekrutmen yang tidak demokratis sehingga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu kekhususan Provinsi Papua dan Papua Barat tidak terletak pada adanya anggota DPRP yang diangkat, tetapi jumlah anggotanya yang lebih banyak daripada DPRP lainnya yakni DPRP 1 ¼ kali dari DPRP sebelumnya.
“Dengan demikian tidak ada halangan bagi orang asli Papua maupun Pemohon untuk menjadi anggota DPRP baik Provinsi Papua dan Papua Barat jika direkrut melalui pemilihan umum legislatif karena adanya perlindungan terhadap orang asli Papua yang diprioritaskan dalam rekrutmen partai politik,” jelas Rumbiak di hadapan sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra.
Kerugian Konstitusional
Menanggapi permohonan tersebut, Saldi mencermati perlu bagi Pemohon untuk menjelaskan kerugian konstitusional yang dialami. Pemohon harus dapat menguraikan kerugian faktual yang dialami dengan berlakunya frasa pada pasal tersebut atau sebuah kerugian yang sudah terjadi selama ini. Di samping itu, Saldi pun menekankan agar Pemohon menjelaskan maksud dari Pemohon yang menyatakan diri sebagai wakil dari perempuan Papua. Dalam hal ini, diharapkan Pemohon dapat menunjukkan bukti keterlibatannya dalam sebuah wadah keterwakilan perempuan dalam sebuah organisasi atau forum yang dapat bertindak dalam lingkup hukum.
Sementara itu, Suhartoyo menasihati agar Pemohon mencantumkan Petitum yang dimohonkan kepada Mahkamah sebagai sebuah persyaratan sistematika permohonan. “Belum ada petitum yang dicantumkan secara persyaratan sistematika permohonan. Hal ini bisa memiliki penilaian lain dari sebuah permohonan nantinya,” ujar Suhartoyo.
Selain itu, Suhartoyo juga meminta agar Pemohon menelusuri permohonan terdahulu yang permah diajukan ke MK yang berkaitan dengan UU Otsus Papua terutama yang sehubungan dengan keanggotaan anggota dewan yang merepresentasikan masyarakat adat. Senada dengan hal ini, Arief pun menyarankan agar Pemohon benar-benar mengamati dengan saksama apabila permohonan yang dikabulkan, serta dampak yang dapat terjadi nanti mengingat dari frasa “dan diangkat” tersebut pernah ada Peraturan Daerah Khusus No. 9/2009 yang telah mengatur ketentuan ini dengan sangat jelas dan spesifik. “Dalam Perdasus itu, syaratnya harus orang Papua asli. Kalau frasa ini dihilangkan, malah terjun bebas bukan? Artinya untuk mengisi DPRP ini seharusnya bisa berdasarkan UU Pemilu. Ini memungkinkan adanya wakil dari masyarakat Papua. Coba pikirkan lagi,” jelas Arief.
Sebelum menutup sidang, Arief menyebutkan bahwa Pemohon diberi kesempatan dalam waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan pada Senin, 3 Februari 2020 pukul 10.30 WIB untuk kemudian menyerahkan kepada Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)