JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) pada Selasa (14/1/2020) di ruang Sidang Pleno MK. Sidang untuk Perkara Nomor 62/PUU-XVII/2019, 70/PUU-XVII/2019, 71/PUU-XVII/2019, dan Perkara Nomor 73/PUU-XVII/2019 ini sedianya mengagendakan mendengar keterangan Pemerintah. Namun, dalam persidangan yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman, Pemerintah menyatakan belum siap menyampaikan keterangan.
“Karena Pemerintah belum siap, maka sidang ditunda dan berlanjut pada Senin 3 Februari 2020. Dengan demikian, sidang kami tutup,” ucap Anwar Usman seraya mengetuk palu tiga kali pertanda sidang ditutup.
Sebagaimana diketahui, permohonan Perkara 62/PUU-XVII/2019 diajukan oleh Gregorius Yonathan Deowikaputra yang menguji Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK yang menyatakan, “Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara …” Selain itu Pasal 29 huruf e UU KPK, “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan.”
Pemohon mendalilkan, pembentukan UU Perubahan Kedua UU KPK sebagaimana dilansir berbagai media, dapat dikatakan telah dilakukan dengan tertutup dan sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan masyarakat luas. Masyarakat sulit mengakses risalah rapat di website resmi DPR. Demikian juga Pemohon mengalami hal yang sama.
Adanya fakta tersebut, jelas bahwa UU Perubahan Kedua UU KPK tidak dilandasi asas “kedayagunaan dan kehasilgunaan” serta “keterbukaan” yang merupakan asas-asas wajib yang harus diterapkan DPR dalam melakukan pembentukan undang-undang sebagaimana digariskan dalam Pasal 118 Tatib DPR RI juncto Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sedangkan permohonan Perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019 diajukan oleh Fathul Wahid dan empat Pemohon lainnya yang berprofesi sebagai dosen bidang hukum di beberapa perguruan tinggi. Mereka menguji antara lain Pasal 1 angka 3 UU KPK yang menyatakan, ”Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan undang-undang ini.”
Pasal 3 UU KPK, ”Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.”
Para Pemohon merasa tidak diberikan kesempatan yang sama untuk memberikan masukan dalam pembentukan UU KPK terkait dengan gangguan independensi KPK, ketidakpastian tugas dewan pengawas dalam tindakan pro-justicia dan status pegawai KPK, serta ketidakpastian mengenai alasan penghentian penyidikan dan penuntutan.
Menurut para Pemohon, proses pembentukan UU KPK secara formil telah melanggar dan bertentangan dengan asas-asas yang seharusnya dimuat dalam sebuah undang-undang, sebagaimana yang diamanahkan oleh UU No. 12/2011. Para Pemohon mendalilkan, berlakunya ketentuan pasal-pasal yang dimohonkan akan mempersulit KPK dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dan menegakkan hukum yang adil.
Kemudian permohonan Perkara Nomor 71/PUU-XVII/2019 diajukan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan para Pemohon lainnya yang menguji antara lain Pasal 6 huruf e UU KPK yang menyatakan, “Komisi Pemberantasan Korupsi bertugas melakukan: ... e. penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tehadap tindak pidana korupsi.” Selanjutnya Pasal 12 ayat (1) UU KPK menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan.
Berikutnya permohonan Perkara Nomor 73/PUU-XVII/2019 diajukan oleh Ricki Martin Sidauruk dan Gregorianus Agung. Kedua Pemohon menguji Pasal 43 ayat (1) UU KPK yang berbunyi, “Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal Komisi Pemberantasan Korupsi.”
Para Pemohon memutuskan untuk berpartisipasi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi seorang penyelidik KPK. Karena peran penyelidik KPK sangat penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, mengingat tugas utama seorang penyelidik pada umumnya adalah mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.
Ketentuan pasal a quo yang diujikan Pemohon seolah-olah mendeterminasikan bahwa yang berkesempatan menjadi penyelidik KPK hanyalah yang berasal instansi pemerintah. Dengan berlakunya pasal a quo, nyata-nyata telah memupuskan kesempatan para Pemohon yang bercita-cita menjadi penyelidik KPK melalui jalur independen yang merupakan hak para Pemohon yang dilindungi oleh UUD 1945.
(Nano Tresna Arfana/NRA)