JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang perbaikan permohonan pengujian Pasal 173 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang dimohonkan DPP Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (3/12/2019). Sidang perkara Nomor 74/PUU-XVII/2019 dilakasanakan oleh Panel Hakim terdiri atas Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih (Ketua) serta Hakim Konstitusi Aswanto dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul (masing-masing sebagai Anggota).
Kuasa hukum Pemohon, Munathsir Mustaman menyampaikan sejumlah perbaikan. “Ada beberapa penulisan pasal, kami sudah lengkapi. Kemudian di pokok permohonan ada beberapa poin yang kami tambahkan. Kami juga melengkapi tentang legal standing serta ada bukti tambahan yaitu P-10 sampai P-12,” jelas Munathsir.
Pemohon meminta kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan pengujian Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu dengan amar putusan menerima dan mengabulkan seluruh permohonan Pemohon serta menyatakan ketentuan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai partai yang lulus verifikasi Pemilu 2019 tidak diverifikasi untuk pemilu selanjutnya.
Pemohon telah melakukan kewajiban untuk mengikuti pemilu dengan memenuhi semua persyaratan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu: a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; c. memiliki kepengurusan di 750% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; d. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan; e. menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota; g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu; h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan i. menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama
partai politik kepada KPU.
Bahwa untuk menjadi peserta Pemilu tersebut, Pemohon mengeluarkan biaya yang amat besar serta proses yang sangat melelahkan. Oleh karena itu Pemohon berhak mengikuti pemilu yang dilaksanakan setelah UU Pemilu disahkan yaitu Pemilihan Umum 2019 serta pemilu-pemilu berikutnya.
Secara prinsip, menurut Pemohon, semua UU dibuat bukan untuk kurun waktu tertentu. Begitu juga UU Pemilu dibuat bukan hanya untuk Pemilu 2019, tetapi untuk waktu yang tak dapat ditentukan pada saat pengesahan UU tersebut.
“Ketentuan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu berpotensi ditafsirkan jika hasil verifikasi tersebut hanya berlaku untuk Pemilihan Umum 2019. Hal ini karena tidak adanya penjelasan yang jelas dan tegas jika hasil verifikasi tersebut tidak hanya berlaku untuk Pemilihan Umum 2019, tetapi juga untuk pemilihan umum berikutnya. Jika potensi kesalahan penafsiran tersebut benar-benar terjadi maka anggota Pemohon akan kehilangan haknya untuk berpartisipasi dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945,” tandas Munathsir. (Nano Tresna Arfana/NRA)