JAKARTA, HUMAS MK. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pada 23 September 2020 untuk menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah Serentak (Pilkada Serentak) pada 270-an daerah di Indonesia. Tahapannya pun telah diawali pada September 2019 lalu. Demikian juga dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai unsur penyelenggara lainnya juga ingin berpacu dengan KPU untuk secara bersama-sama menyelesaikan amanat UU Pilkada. Namun, konsolidasi jajaran ini masih terkendala dualisme kelembagaan.
Demikian ucap Syamsuddin Haris selaku Ahli yang dihadirkan para Pemohon dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Lebih jelas Syamsuddin menguraikan terkait dualisme kelembagaan ini juga berdampak pada kerancuan pengaturan mengenai jumlah personil dan komposisi keanggotaan panwas yang berinduk pada UU Pilkada di satu pihak, sedangkan Bawaslu berpayung pula pada UU Pemilu di lain pihak. Di samping itu pula, sambung Syamsuddin, terdapat pula permasalahan legalitas sekaligus legitimasi panwas kabupaten/kota yang menjadi salah satu unsur penyelenggara pilkada yang otoritas pembentukannya dilakukan oleh Bawaslu provinsi, sebagaimana diatur UU Pilkada. Namun, Bawaslu kabupaten/kota sebagaimana diatur UU Pemilu, justru dibentuk oleh Bawaslu tingkat pusat.
“Apabila Pilkada esensinya sama dengan pemilu, maka segenap standar minimum yang berlaku bagi pemilu, semestinya berlaku pula bagi pilkada,” tegas Syamsuddin dalam sidang perkara yang dimohonkan Surya Efitrimen, Nursari, dan Sulung Muna Rimbawan yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (2/12/2019) di ruang sidang Pleno MK.
Pemilu Lokal
Syamsudin berpendapat bahwa masih adanya pertentangan dan perbedaan nomenklatur, norma, dan sifat kelembagaan antarpanwas kabupaten/kota dalam UU Pilkada, dan Bawaslu kabupaten/kota dalam UU Pemilu tidak harus terjadi. Dengan catatan pembentuk undang-undang memiliki cara pandang yang sama dan konsisten bahwa pilkada pada dasarnya adalah pemilu dalam lingkup lokal. Dengan demikian, unsur pengawas pilkada pada tingkat kabupaten/kota, bukanlah panwas dengan skema kelembagaan seperi diatur UU Pilkada. Melainkan, Bawaslu dengan skema kelembagaan jumlah personil dan prosedur kelembagaan, sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Pemilu. ”Jadi, kepastian hukum itu lebih mendesak lagi bagi jajaran pengawas di tingkat kabupaten/kota karena pilkada terbesar pada 23 September yang akan datang berlangsung di 224 kabupaten dan 37 kota di seluruh Indonesia,” terang Syamsuddin.
Permohonan perkara Nomor 48/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh Surya Efitrimen, Nursari, dan Sulung Muna Rimbawan. Pada sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar pada Selasa (17/9/2019) para Pemohon melalui kuasa hukum Veri Junaidi menilai dengan diberlakukannya sejumlah pasal dalam UU Pilkada yang dimohonkan pengujian secara faktual dapat mengancam kedudukan para Pemohon sebagai penyelenggara pemilu. Para Pemohon secara faktual potensial tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan pelaksanaan Pilkada karena desain kelembagaan yang dipersyaratkan dalam UU tersebut adalah Bawaslu RI ataupun Provinsi untuk membentuk suatu lembaga yang dinamakan Panitia Pengawas Pemilihan yang bersifat baru dan berbeda, serta kelembagaan dengan Bawaslu kabupaten/kota yang kedudukannya saat ini telah permanen. (Sri Pujianti/NRA).