JAKARTA, HUMAS MKRI - Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undag Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) berpotensi melanggar prinsip negara hukum dan independensi proses peradilan. Hal ini terungkap dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan uji materi UU KPK yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (2/12/2019). Permohohan yang teregistrasi Nomor 77/PUU-XVI/2019 ini diajukan oleh sejumlah 12 orang Pemohon yang terdiri atas advokat, aktivis anti korupsi, dan mahasiswa hukum.
Jovi Andrea Bachtiar, Titanio Hasangapan Giovanni Sibarani, dan Faiz Abdullah Wafi selaku wakil para Pemohon menyatakan Pasal 12B ayat (2), ayat (3), ayat (4); Pasal 12C ayat (1); Pasal 21 ayat (1); Pasal 37A ayat (3); Pasal 37B ayat (1) huruf b; Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 69A ayat (1) dan ayat (4) UU KPK merugikan hak konstituionalnya. Lebih jelas Jovi menyebutkan bahwa alasan para Pemohon dalam perkara ini adalah terkait dengan kedudukan dan mekanisme pengisian jabatan Dewan Pengawas KPK. Menurutnya, KPK merupakan lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Jovi menjelaskan, revisi UU KPK mengedepankan urgensi pembentukan Dewan Pengawas, namun pengaturannya terkait kedudukan dan kewenangan yang dituangkan dalam UU KPK menimbulkan intervensi pada proses peradilan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. “Sehingga keberadaan Dewan Pengawas ini dapat merusak prinsip negara hukum yang diatur dalam UUD 1945,” sampai Jovi di hadapan sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dengan didampingi Wakil Ketua MK Aswanto dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams di Ruang Sidang Pleno MK.
Terkait dengan perkara tersebut, para Pemohon juga mengajukan pengujian Pasal 51A ayat (5) dan Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi serta Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam pandangan para Pemohon, melalui Putusan MK Nomor 73/PUU-IX/2011 telah memberikan tafsir terkait kekuasaan kehakiman yang meliputi segala kegiatan yang berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana. Sehingga, sambung Jovi, prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak berlaku terhadap segala proses peradilan, mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, hingga penjatuhan putusan dan pelaksanaan putusan pengadilan. Sehubungan dengan pemberian kedudukan kepada Dewan Pengawas sebagai lembaga nonstruktural yang berwenang mengeluarkan persetujuan tertulis terhadap kegiatan penyadapan dan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik KPK, berpotensi menghambat keseluruhan proses peradilan.
Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan para Pemohon, Aswanto menasihati para Pemohon agar memperhatikan kedudukan hukumnya mengingat dari 12 Pemohon yang mengajukan diri sebagai Pemohon, hanya 4 orang yang hadir. Sedangkan, dari sisanya hanya ada satu orang yang mengajukan kuasa secara tertulis. “Ini terlihat Pemohon lainnya tidak sungguh-sungguh mengajukan permohonan. Apabila tidak bisa hadir, mungkin bisa mengajukan kuasa atau jika berada jauh dari Jakarta dapat melakukan video conference dengan memberikan kabar pada MK,” nasihat Aswanto.
Selain itu, Aswanto melihat para Pemohon belum menguraikan secara baik keterkaitan norma dengan kedudukan hukumnya. Sehingga Mahkamah pun belum melihat adanya gambaran komprehensif terhadap potensi kerugian yang dialami para Pemohon. Untuk itu, Aswanto mengharapkan agar para Pemohon dapat melakukan elaborasi terhadap pokok perkara yang diajukan. “Dengan demikian, Mahkamah dapat melihat kerugian konstitusional menurut akal sehat jika norma a quo dijadikan norma dasar bagi komisioner KPK untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya,” urai Aswanto.
Sejalan dengan hal ini, Wahiduddin pun berpendapat bahwa para Pemohon masih belum cermat menyampaikan petitum dan pokok perkaranya terutama bertalian dengan pasal-pasal yang diujikan. “Pemohon harus cermat dan mampu membuat sederhana permohonan ini dengan penekanan, padat, tetapi mengarah,” jelas Wahiduddin.
Sebelum menutup persidangan, Manahan mengingatkan para Pemohon untuk menyempurnakan permohonan. Untuk itu, para Pemohon diberikan waktu selambat-lambatnya hingga Senin, 16 Desember 2019 pukul 14.30 WIB agar menyerahkan berkas perbaikan permohonan ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/NRA).