JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pemeriksaan Pendahuluan Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, di Ruang Sidang Pleno MK, Rabu (20/11/2019). Permohonan yang diregistrasi dengan nomor perkara 75/PUU-XVII/2019 ini diajukan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI). Para pemohon menguji norma Pasal 1 angka 6 frasa “atau sudah/pernah kawin”. Pasal 1 angka 6 menyatakan, “Pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin yang terdaftar dalam Pemilihan”.
Fadli Ramadhanil selaku para Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya, dalam sidang menyatakan bahwa dengan adanya ketentuan pasal a quo khususnya frasa “atau sudah/pernah kawin” telah memberikan ketidakadilan bagi setiap warga negara untuk bisa terdaftar sebagai pemilih. Padahal, asas adil di dalam sebuah proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah salah satu indikatornya memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara untuk bisa terdaftar sebagai pemilih. Dengan terdaftar sebagai pemilih itu, pula warga negara dapat memberikan pilihan politiknya ketika memilih kepala daerah.
Menurut para Pemohon, adanya syarat “sudah/pernah kawin” sebagai syarat warga negara bisa didaftar sebagai pemilih. Hal ini menyebabkan pilihan untuk kawin dianggap salah satu kedewasaan seseorang. “Jika, ketika seseorang warga negara sudah bisa menentukan pilihan untuk melakukan ikatan perkawinan, maka yang bersangkutan menjadi orang dewasa, sehingga, atas dasar alasan itu pula ia diberikan hak untuk bisa terdaftar sebagai pemilih,” demikian disampaikan oleh Heroik saat membacakan alasan permohonan para Pemohon.
Lebih lanjut Heroik mengatakan, setelah adanya putusan MK Nomor 22/PUUXV/2017, dan ditindaklanjuti dengan melakukan revisi terhadap UU perkawinan melalui UU Nomor 16 Tahun 2019, ketentuan di dalam UU a quo sepanjang frasa “atau sudah/pernah kawin” telah menimbulkan ketidakadilan di dalam sistem pendaftaran pemilih bagi setiap warga negara dan hal ini tentu bertentangan dengan asas pemilu dan pemilihan yang dijamin di dalam Pasal 22E ayat 1 UUD 1945.
Namun, dengan masih berlakunya ketentuan pasal Undang-Undang a quo, telah menimbulkan ketidakpastian hukum terkait dengan batas usia kedewasaan seorang warga negara, berikut juga dengan batas usia warga negara dapat dinyatakan memenuhi syarat sebagai pemilih. Padahal, putusan MK telah menyatakan tidak boleh ada diskriminasi antara usia minimal perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, batas usia minimal perkawinan juga telah disebutkan ketika seorang warga negara tidak lagi berstatus anak, di mana usia anak sejak dalam kandungan sampai 18 tahun sebagaimana diatur di dalam UU Perlindungan Anak. Oleh sebab itu, untuk menghilangkan diskriminasi terhadap anak karena status perkawinan, ketentuan frasa “sudah/pernah kawin” mesti dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Oleh karena itu, materi permohonan mengenai syarat “sudah/pernah kawin” sebagai salah satu kualifikasi syarat menjadi pemilih adalah data awal atas data pemilih yang akan dimutakhirkan oleh KPU, maka para pemohon menganggap hal tersebut menjadi penting bagi Mahkamah untuk dapat memprioritaskan permohonan ini, agar terdapat kepastian hukum terkait dengan tahapan pelaksanaan Pilkada 2020.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra menanyakan mengenai frasa yang diuji memiliki relevansi jika bunyi pasal dihilangkan. Pemohon juga harus membuktikan adanya diskriminasi dengan berlakunya pasal tersebut.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan agar Pemohon mengelaborasi kedudukan hukum antara usia perkawinan dengan syarat pemilih. “Para pemohon harus menjelaskan korelasi kerugian konstitusional dengan pasal yang diujikan,” ujarnya. (Utami/LA)