JAKARTA, HUMAS MKRI – Wacana peralihan “Program Pembayaran Pensiun dan Tabungan Hari Tua” yang semula merupakan program Tabungan dan Asuransi Pensiun (TASPEN) kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan) mengundang kekhawatiran dari para pensiunan dan PNS aktif. Sejumlah pensiunan dan PNS aktif pun mengadu ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang uji materiil Pasal 1 angka 1, Pasal 5 ayat (2), Pasal 57 huruf f, Pasal 65 ayat (2), dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). Sidang perdana perkara Nomor 72/PUU-XVII/2019 yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams digelar pada Rabu (20/11/2019) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Andi Muhammad Asrun mengatakan bahwa para pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya tiga pasal yang diuji dalam UU BPJS selambat-lambatnya tahun 2019 akan menimbulkan ketidakpastian (uncertainty) bagi para Pemohon terhadap pelaksanaan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan jaminan sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945. Selain itu, lanjutnya, para Pemohon juga mendalilkan bahwa pihaknya merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena terjadi penurunan manfaat dan layanan akibat pengalihan layanan program TASPEN kepada BPJS yang selama ini telah dirasakan manfaatnya oleh para Pemohon. “UU ini berpotensi menimbulkan kerugian konstitusional di kemudian hari bilamana program TASPEN dialihkan kepada BPJS,” ujar Asrun.
Asrun menjelaskan kebijakan atau politik hukum pemerintah menganut keterpisahan manajemen tata kelola jaminan sosial antara pekerja yang bekerja pada penyelenggara negara dengan pekerja yang bekerja selain pada penyelenggara negara. Hal tersebut termaktub dalam PP 45/2015 juncto PP 46/2015 yang menegaskan bahwa Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun bagi Peserta pada pemberi kerja penyelenggara negara dikecualikan dalam PP tersebut dan diamanatkan untuk diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri.
Dengan demikian, menurut para pemohon, pembentuk undang-undang menghendaki pelaksanaan penyelenggaraan program Jaminan Pensiun dan program jaminan hari tua bagi PNS dan Pejabat Negara (Pegawai yang bekerja pada penyelenggara negara), diselenggarakan secara terpisah dari pengelolaan program Jaminan Pensiun dan Jaminan Hari Tua bagi pegawai yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara negara (swasta). Hal ini menyebabkan para Pemohon merasakan adanya potensi kehilangan hak-hak terkait keuntungan yang selama ini didapatkan melalui keikutsertaan dalam Program Jaminan Sosial dan Tabungan Hari Tua akan hilang sejalan dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal yang diujikan.
Untuk itulah, Pemohon meminta agar Pasal 1 angka 1, Pasal 5 ayat (2), Pasal 57 huruf f, Pasal 65 ayat (2), dan Pasal 66 UU BPJS dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Terhadap permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan kepada Pemohon untuk memperkuat argumentasi kedudukan hukum. “Hubungan hukum substansial kekuatannya apakah sama antara anggapan konstitusional para pemohon prinsipal yang sudah purnabakti dengan pemohon PNS yang masih aktif,” jelasnya.
Sementara Hakim Konstitusi Saldi Isra menyarankan para pemohon untuk mempertajam alasan permohonan para pemohon dalam mengajukan permohonan ini. “Jadi, nanti jangan di posita lebih menjelaskan argumentasi kerugian hak konstitusional,” ujar Saldi Isra saat memberikan nasihat perbaikan untuk para pemohon.
Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya dan batas akhir memperbaiki permohonannya pada Selasa, 3 Desember 2019 pada pukul 10.00 WIB. (Utami/LA)