JAKARTA, HUMAS MKRI - Para mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (13/11/2019). Kedatangan rombongan mahasiswa disambut Peneliti MK Oly Viana Agustine yang menyampaikan materi “Penafsiran Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945”.
Oly menerangkan, penafsiran konstitusi dibutuhkan untuk menjawab berbagai persoalan sesuai perkembangan zaman, karena konstitusi tidak sepenuhnya bisa menjawab bermacam persoalan yang terjadi di masyarakat. Oleh sebab itu, Hakim MK dalam memeriksa perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 diperbolehkan melakukan penafsiran konstitusi.
“Tidak ada dalam satu aturan di Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman maupun Undang-Undang Dasar 1945 yang mewajibkan hakim untuk menggunakan metode penafsiran tertentu. Masing-masing Hakim MK diberikan kebebasan menggunakan metode interpretasi konstitusi untuk membentuk putusan yang komprehensif,” urai Oly.
Selain itu, Oly juga menjelaskan sejarah terbentuknya MKRI bermula dari amendemen UUD 1945 yang dilakukan empat tahap. Amendemen UUD 1945 membawa perubahan besar bagi lembaga-lembaga negara di Indonesia. MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, namun kedudukannya setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya seperti dengan MK, MA, DPR, Presiden dan lainnya.
Selanjutnya, dibentuklah MKRI pada 13 Agustus 2003, seiring terbentuknya UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 disebutkan kewenangan MK yaitu menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Tujuan dilakukan uji undang-undang adalah untuk melindungi hak warga negara dari undang-undang yang dirugikan. Sejauh mana undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi.
Berikutnya, Oly menjelaskan kewenangan lainnya MK yaitu memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus sengketa pemilihan umum, dan memutus pembubaran partai politik. Sedangkan kewajiban MK adalah memutus pendapat DPR apabila Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum.
“MK mengadili Presiden dan atau Wakil Presiden dalam rangka adanya dugaan Presiden dan atau Wakil Presiden melanggar prinsip negara hukum atau yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar. Namun ini harus ada pendapat DPR mengenai dugaan Presiden dan atau Wakil Presiden melanggar prinsip negara hukum,” tutupnya.
(Utami/NRA)