BALI, HUMAS MKRI – Pengadilan di seluruh dunia haruslah memiliki persepsi yang sama tentang proses penegagan hak asasi manusia dan melindungi hak-hak perempuan termasuk kebebasan atas hak beragama seperti mengenakan jilbab. Mengingat saat ini masih terdapat perbedaan dalam pengambilan keputusan tentang masalah ini di seluruh dunia terkait nilai hak dan upaya penegakan hak tersebut. Hal ini dipresentasikan Khairil Azmin Mokhtar dalam makalah berjudul “Religious Rights to Wear Headscraft as Human Rights: Lesson Learned at Indonesian and Malaysian Constitutional Court Perspectives”dalam kegiatan Call for Paper di Nusa Dua, Bali pada Rabu (6/11/2019).
Dalam paparannya, Khairil mengambil studi kasus kontroversi yang berkaitan dengan kebebasan beragama berupa larangan jilbab bagi wanita muslim yang terjadi di beberapa negara seperti di Prancis, Belanda, dan Turki. Dalam penelitian ini, Khairil menguraikan korelasi antara kebebasan beragama dan hak berpakaian menurut agama seseorang sebagaimana diatur dalam konstitusi Indonesia dan Malaysia serta implikasinya terhadap pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya perempuan.
Dalam pembahasannya, Kahiril juga mengkaji aturan yang mengatur kebebasan beragama terutama kebebasan pakaian agama dan hak ekonomi sosial dari berbagai sumber, seperti konvensi, deklarasi, dan undang-undang hak asasi manusia internasional. Berdasarkan kasus-kasus yang diputuskan, baik di Malaysia maupun Indonesia, ada indikasi kuat bahwa pengadilan mengambil pendekatan tegas dalam melindungi dan penentuan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. “Jadi, berpedoman pada konteks realitas sosial budaya yang ada di Indonesia maka peninjauan kembali yudisial yang kuat dapat menyediakan alat yang berguna guna mengadvokasi kasus-kasus semacam itu di negara lain,” ujar Khairil yang menyajikan makalah dengan didampingi M. Ali Safa’at dari Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.
Maka pengadilan, lanjut Khairil, yang merupakan pintu terakhir untuk melindungi dan melindungi hak asasi manusia, harus memiliki persepsi yang sama tentang aturan standar internasional yang telah mengatur hak asasi manusia secara global. Meskipun lembaga peradilan adalah lembaga yang independen dan tidak memihak, itu tidak berarti pengadilan dapat dengan cepat mengindahkan aturan standar global yang mengatur hak asasi manusia, yang telah menjadi tolok ukur dalam proses penegakan hak asasi manusia karena sebuah konstitusi modern harus melindungi hak asasi manusia.
Melawan Populisme Yudisial
Sementara itu, pada kesempatan berikutnya Rosa Ristawati dari Universitas Airlangga Surabaya memaparkan makalah berjudul “On Preserving Judicial Independence and Against Judicial Populism: The Indonesian Constitutional Court on Protecting the Economic and Social Rights”. Melalui penelitiannya, Rosa mencoba mengaitkan keberadaan putusan pengadilan dengan populisme yang dapat muncul karena tuntutan dari rakyat. Menurutnya, ketika menyangkut cabang yudisial maka dapat disebut sebagai populisme yudisial. Dengan arti kata bahwa peradilan jauh lebih dipengaruhi oleh kehendak mayoritas orang. Di mana ketika hakim, maka akan lahir keputusan sesuai dengan keinginan orang dan bukan apa yang harus diputuskan oleh hukum. Untuk itulah, lembaga MKRI hadir sebagai lembaga independen yang menjunjung demokrasi dan prinsip-prinsip supremasi hukum dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam makalahnya ini, Rosa mengangkat beberapa keputusan MKRI yang berhubungan dengan masalah hak ekonomi dan sosial. Khususnya masalah hak Ulayat dan hak pendidikan bahwa MKRI cenderung mempertahankan independensinya dalam menyampaikan keputusan. Menurut penilaian Rosa, hal ini juga menunjukkan konsistensi MK dalam melindungi konstitusi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai konstitusi melawan populisme peradilan.
“MKRI dalam kedua keputusan tersebut menunjukkan komitmen konstitusional dengan menjaga nilai-nilai demokrasi perlindungan minoritas-terpinggirkan terhadap kepentingan dominan-mayoritas. Secara umum, MKRI dalam masalah perlindungan hak-hak ekonomi menjunjung tinggi independensi peradilan dan mengesampingkan populisme peradilan,” terang Rosa.
Penerapan Teori Hukum Refleksif
Berikutnya, Peneliti MK Merry Christina Putri dalam makalah berjudul “Social and Economic Rights Protection in Constitutional Court Decision From The Perspective ff Reflexive Law” mengungkapkan gambaran hubungan antara teori hukum refleksif oleh Gunther Teubner yang dapat ditemukan dalam beberapa Putusan MKRI.
Menurut pandangannya, dalam konteks penegakan hukum, hubungan antara fakta, norma, dan doktrin hukum dalam pertimbangan putusan, maka hakim harus konsisten dan memberikan keadilan untuk menerapkan hukum dan reformasi hukum. Putusan hakim yang tidak mempertimbangkan fakta hukum, sambung Merry, tidak dapat dianggap putusan pengadilan. Berpedoman pada penerapan hukum refleksif, maka MKRI sebagai lembaga negara yang menjadi alat negara untuk memberikan keadilan substantif dan menjamin hak asasi manusia serta perlindungan hak konstitusional dengan melakukan perannya yang tidak hanya fokus engandalkan hukum positivis dan menggunakan refleksif formal, tetapi juga menguraikan hukum refleksif substantif di pertimbangan hukum dari putusannya. “Sehingga keadilan substantif dapat diberikan kepada warga negara. Dan dengan mempertimbangkan dampak globalisasi, MKRI terus berupaya untuk memberikan keadilan dan keadilan substantif dalam putusannya,” terang Merry.
Kegiatan Call for Paper ini merupakan acara yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara MKRI yang menjadi bagian dari rangkaian The 3rd Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS 2019). Kegiatan ini diselenggarakan selama dua hari (6 – 7/11/2019), dengan agenda utama berupa presentasi dari beberapa pemakalah terpilih serta diskusi dan penyampaian tanggapan dari peserta lainnya dari 23 negara sahabat. (Sri Pujianti)