BALI, HUMAS MKRI – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie menjadi penceramah kunci dalam kegiatan “The 3rd Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS 2019), Short Course and Call for Paper” yang digelar di Nusa Dua, Bali, Senin (04/11/2019). Jimly menyampaikan ceramah berjudul “Konstitusi Keadilan Sosial Indonesia.”
Dalam makalahnya Jimly menyatakan globalisasi dalam semua aspek kehidupan mengakibatkan suasana kehidupan setiap bangsa, setiap komunitas di dunia berada dalam hubungan saling pengaruh mempengaruhi secara sangat intensif. Oleh karena itu, prinsip keadilan struktural dalam kehidupan bersama semua masyarakat di dunia harus mendapatkan perhatian yang semakin seksama. Namun, dalam praktiknya, justru tema-tema keadilan sosial inilah yang paling sedikit mendapat perhatian, terutama di lingkungan bangsa-bangsa yang baru menikmati sistem demokrasi yang bersifat bebas dan terbuka.
Namun, pengaruh liberalisasi dan neo-liberalisme serta globalisasi di segala bidang kehidupan tidak diiringi dengan kebijakan-kebijakan pemerintahan dan pembangunan yang berorientasi keadilan sosial. Akibatnya, dimana-mana muncul kasus-kasus konflik sosial yang diakibatkan karena ketidakadilan. “Karena itu, tema konstitusi keadilan sosial ini dewasa ini sangat dibutuhkan, apalagi dalam konteks Indonesia sebagai negara demokrasi baru dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di dunia, setelah India dan Amerika Serikat,” terang Jimly di hadapan Ketua MK Anwar Usman, Wakil Ketua MK Aswanto, para Hakim Konstitusi, dan para delegasi Asosiasi Mahkamah Konstitusi Se-Asia dan institusi sejenis (Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions/AACC), serta para akademisi.
Menurut Jimly, kebijakan yang harus dikembangkan haruslah memastikan prinsip ‘equality’, ‘equity’ dan ‘reciprocity’ itu dapat berjalan secara terpadu dan seimbang untuk membangun struktur kehidupan sosial yang berkeadilan, yaitu struktur masyarakat yang berkeadilan sosial. Dengan adanya ketiga hal ini, dengan sendirinya ketimpangan dalam struktur perikehidupan bermasyarakat dapat dicegah dan diatasi. Pendekatan yang bersifat struktural ini mempunyai arti yang sangat penting untuk menilai sejauhmana kebijakan-kebijakan pro-rakyat yang dikembangkan selama ini benar-benar berada di jalan yang tepat dalam upaya mewujudkan prinsip keadilan sosial sebagai sila kelima Pancasila.
Lebih lanjut Jimly memaparkan, pembangunan ekonomi memerlukan dukungan kelembagaan dan sistem norma, baik sistem hukum (rule of law) maupun sistem etika (rule of ethics) yang mengatur dan mengarahkan secara efektif dan efisien agar tujuan kesejahteraan yang adil dan merata dapat dicapai dengan sebaik-baiknya. Karena itu, sistem ekonomi dan kebijakan pembangunan ekonomi harus tunduk kepada kesepakatan hukum tertinggi, yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar desain hukum konstitusi (constitutional law) dan etika konstitusi (constitutional ethics) yang harus menjadi landasan sistem ekonomi dan kebijakan pembangunan ekonomi nasional. “Itu sebabnya, UUD 1945 tidak seperti Konstitusi banyak negara barat seperti Konstitusi Amerika Serikat yang tidak mengatur pasal-pasal perekonomian,” Jimly mebandingkan.
Padahal Konstitusi Amerika Serikat selalu dijadikan acuan dalam studi dan praktik penyusunan undang-undang dasar di dunia. “Konstitusi Amerika Serikat pada umumnya dipahami tidak memuat sama sekali ketentuan mengenai ide-ide kesejahteraan sosial sebagaimana UUD 1945,” tandas Jimly. (NRA/LA).