JAKARTA, HUMAS MKRI - Melkias Hetharia menjadi Ahli Pemohon pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, hadir dalam sidang lanjutan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (16/10/2019). Melkias membandingkan partai politik lokal di Aceh dan Papua.
“Perbandingan antara Aceh dan Papua sudah kita tahu bersama bahwa Papua dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua tidak dicantumkan dengan tegas partai politik lokal. Tetapi berdasarkan Pasal 25, rancangan itu ada disebut partai politik lokal yang kemudian dalam pembahasannya frasa itu menjadi hilang dan muncul partai politik,” kata Melkias kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Dikatakan Melkias, partai politik lokal yang konsep asalnya merupakan konsep asli dari masyarakat Papua kemudian dipelajari oleh pemerintah Aceh yang merevisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, Undang-Undang Nangroe Aceh Darussalam itu menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pemerintahan Aceh yang pada Pasal 75 sampai Pasal 95 di dalamnya menyebut partai politik lokal.
“Partai politik lokal Aceh telah mengikuti pemilu 3 kali dan ini membuat masyarakat Papua merasa kehilangan hak politiknya dalam mengikuti pemilu yang seharusnya diakomodir pemaknaannya dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang jauh telah digagas sebelum Undang-Undang Pemerintahan Aceh tersebut,” tegas Melkias selaku Guru Besar Fakultas Filsafat Hukum dan Hak Asasi Manusia Universitas Cendrawasih, Jayapura.
Dijelaskan Melkias, penafsiran frasa partai politik pada Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Otsus Papua tersebut hendaknya tidak berdasar semata pada tafsir gramatikal, tetapi perlu juga berdasarkan tafsir sistematis menyeluruh yang didasarkan pada nilai-nilai dan asas-asas otsus, tafsir historis, sosiologis, teologis, sehingga keadilan dapat ditegakkan.
“Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, berdasarkan paparan di atas, Ahli sampai kepada kesimpulan bahwa frasa partai politik dalam rumusan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) Otonomi Khusus Papua tidak sejalan dengan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan asas-asas yang melandasi seluruh pasal dalam Undang-Undang Otsus tersebut. Juga tidak sesuai dengan keinginan, kebutuhan, kepentingan masyarakat Papua, serta tidak lagi sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat dan kenyataan sosiologis yang ada dan berkembang di Indonesia khususnya di tanah Papua sebelum dan sesudah rumusan Pasal 28 tersebut,” urai Melkias.
Berdasarkan kesimpulan itu, Melkias berpendapat bahwa rumusan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Otsus frasa partai politik harus dimaknai sebagai partai politik lokal sehingga pasal tersebut sesuai dengan nilai-nilai, prinsip, asas, dan tujuan, serta sejalan dengan status Provinsi Papua yang diberi otonomi khusus yang mengatur hal-hal khusus di tanah Papua. Dengan demikian, hak-hak politik penduduk Papua dalam membentuk partai politik lokal telah dirugikan dan dilanggar oleh ketidakjelasan frasa partai politik dalam Pasal 28 Undang-Undang yang dirumuskan oleh pemerintah dan DPR tersebut.
“Oleh sebab itu, Pasal 28 tersebut bertentangan dengan HAM politik yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Demikian keterangan yang dapat saya sampaikan, terima kasih, kiranya Allah yang Maha Kasih mengampuni kita sekalian. Terima kasih,” tandas Melkias.
Sebagaimana diketahui, para Pemohon adalah Krisman Dedi Awi Janui Fonataba dan Darius Nawipa yang menguji frasa “Partai Politik” pada Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang a quo yang menyebutkan, “Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik.”
Pemohon Perkara Nomor 41/PUU-XVII/2019 ini menyampaikan sejumlah alasan permohonan. Kerugian konstitusional yang dialami Permohon bermula pada kasus konkret yang dihadapinya yaitu ditolaknya partai politik Pemohon untuk berpartisipasi dalam Pemilu Legislatif Tahun 2019 oleh KPU Provinsi Papua dan telah dibatalkannya Keputusan Pengesahan Partai Papua Bersatu sebagai badan hukum oleh Kementerian Hukum dan HAM. “Alasan penolakan KPU Provinsi Papua untuk melakukan verifikasi karena belum adanya ketentuan hukum yang secara tegas mengatur keberadaan partai politik lokal di Provinsi Papua. Pendirian Partai Papua Bersatu merupakan wujud dari hak asasi warga negara yang dilindungi oleh konstitusi yaitu kebebasan untuk berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat, karenanya wajib diberi ruang oleh peraturan perundang-undangan dibawahnya, termasuk Undang-Undang Otonomi Khusus Papua,” kata kuasa hukum Pemohon, Habel Rumbiak.
Dijelaskan Pemohon, awalnya dalam Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, maksud Pasal 28 ayat (1) adalah untuk memproteksi penduduk lokal di Papua agar selalu terwakili pada lembaga legislatif di daerah Provinsi Papua. Karena Provinsi Papua pada akhirnya diberlakukan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua tersebut, menurut Pemohon, partai politik dimaksud adalah partai politik lokal. Selain karena basis dukungannya semata-mata di wilayah Provinsi Papua, utamanya adalah landasan hukumnya bersifat khusus sesuai dengan prinsip hukum lex specialis derogat legi generalis. (Nano Tresna Arfana/LA)