JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) di Ruang Sidang Pleno MK, pada Rabu (16/10/2019). Sidang perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dengan menyatakan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu; serta Pasal 3 ayat (1), Pasal 201 ayat (7) dan Pasal 201 ayat (9) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945.
Fadli Ramadhanil selaku kuasa hukum menyampaikan perbaikan permohonan berupa penguatan argumentasi dasar pengujian pasal-pasal tersebut. Menurut Pemohon, dalam membangun sistem presidensiil yang efektif diperlukan pemilihan presiden/wakil presiden yang diselenggarakan secara serentak dengan pemilihan anggota DPR. Hal ini selayaknya berlaku juga untuk pemilihan pada kepala daerah. Kendati tidak disebutkan secara ekplisit dalam UU Pemilu, sambungnya, dalam kerangka politik bahwa hubungan DPR dan kepala daerah tidak bisa dipisahkan termasuk pula dengan jadwal keserentakan pemilihannya. “Jika tidak serentak, maka akan mengakibatkan tidak efektifnya pemerintahan dan otonomi daerah,” ujar Fadli di hadapan sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Palguna dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Enny Nurbaningsih.
Berikutnya, Fadlli juga menyebutkan bahwa kenyataan bahwa pemilihan kepala daerah dan pemilihan anggota DPRD yang tidak diselenggarakan secara serentak tersebut menghadirkan konfigurasi politik yang berbeda-beda dan ini memengaruhi pula pada penguatan kerja sistem presidensiil. Maka, sambungnya pemilihan yang serentak ini seharusnya dapat dilakukan serentak karena tidak ada pembedaannya. Mulai dalam hal asas, prinsip, dan penyelenggara, sampai pada rangkaian kegiatan pemilihannya sama. “Sehingga ini menghasilkan pemilihan yang jauh lebih kredibel dan rasional dalam mewujudkan demokrasi itu sendiri,” ujar Fadli.
Sebagaimana diketahui, dalam sidang sebelumnya, Pemohon menyatakan sistem pemilu serentak dengan model lima kotak tidak sesuai dengan asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Selain itu, desain pelaksanaan pemilu lima kotak pada satu hari bersamaan tersebut, membuat pemenuhan prinsip pemilu demokratis yang merupakan cerminan dari asas pemilu dalam Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945 telah terlanggar.
Lebih lanjut, Pemohon menyampaikan bahwa berpedoman pada Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, Mahkamah ingin memberikan penegasan desain pemilu serentak adalah sesuatu yang memiliki pengaruh signifikan terhadap peta checks and balances terutama terkait efektivitas sistem presidensial di Indonesia. Namun, desain pelaksanaan pemilu lima kotak tersebut berakibat pada lemahnya posisi presiden untuk menyelaraskan agenda pemerintahan dan pembangunan. Hal ini terjadi karena pemilihan kepala daerah dengan DPRD tidak diserentakkan, sedangkan kepala daerah adalah perpanjangan tangan pemerintahan pusat sekaligus sebagai penyelenggara otonomi daerah.
Selanjutnya, terkait dengan kewenangan dan fungsi pemerintah daerah tidak jauh berbeda dengan kerja sistem pemerintahan presidensial. Dalam perumusan peraturan daerah, kepala daerah dan DPRD membahas secara bersama-sama perumusan suatu oeraturan daerah untuk kemudian memperoleh persetujuan bersama. Hal ini senada pula dengan relasi kerja antara Presiden dan Wakil Presiden dengan DPR dalam perumusan perundang-undangan. Akan tetapi, pada realitasnya seringkali kesetaraan dan efektivitas ini terganggu karena adanya keterpisahan waktu pemilihan umum kepala daerah dengan pemilihan anggota DPRD. Akibatnya, berdampak adanya politik transaksional untuk kepentingan jangka pendek bagi kepentingan calon kepala daerah. Tak hanya itu, dampak lainnya adalah inefektivitas pemerintahan daerah karena pemerintahan dibentuk atas dasar kepentingan jangka pendek saja. Dampak terakhir, hal tersebut dapat melemahkan dukungan gubernur terpilih di pilkada oleh DPRD.
Untuk itu, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu sepanjang frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak yang terbagi atas pemilu serentak nasional untuk memilih DPR, Presiden, dan DPD, dan dua tahun setelah pemilu serentak nasional dilaksanakan pemilu serentak daerah untuk memilih DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur, Bupati, dan Walikota.” (Sri Pujianti/LA)