JAKARTA, HUMAS MKRI – Sejumlah politisi muda yang hendak berpartisipasi dalam pemilhan kepala daerah pada 2020 mendatang, menguji aturan batas usia ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (16/10/2019) siang. Politisi muda Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yakni Tsamara Amani, Faldo Maldini dan Dara Adinda Kesuma Nasution beserta politisi muda Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Cakra Yudi Putra tercatat sebagai Pemohon perkara Nomor 58/PUU-XVII/2019.
Dalam sidang perdana, Pemohon mendalilkan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang yang terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal 7 ayat (2) huruf e menyatakan, “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: ... e. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”.
Rian Ernest selaku kuasa hukum mengatakan para pemohon merasa dihalangi untuk mengikuti pemilihan umum 'secara demokratis'. Dengan adanya Pasal 7 ayat (1) UU Pilkada yang memberikan batas usia tersebut, dianggap Pemohon telah mereduksi sifat pemilihan yang demokratis. Para Pemohon menilai pasal tersebut berakibat adanya golongan muda yang tersingkirkan dari kontestasi politik dan rakyat sendiri tidak dapat bebas memilih kandidat-kandidat dari golongan muda tersebut. Selain itu, pasal tersebut menghalangi hak para Pemohon yang merupakan Warga Negara Indonesia dewasa yang memiliki kemampuan dan motivasi pribadi yang tulus untuk melayani masyarakat, untuk turut serta dalam pemerintahan melalui Pilkada yang sah.
“Sehingga, dengan adanya obyek permohonan, bisa ditafsirkan bahwa seolah-olah golongan muda dibawah umur 25 tahun dipastikan tidak mampu memimpin sebaik golongan dari usia yang lebih tua,” ujar Rian di hadapan sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Kemudian, menurut Rian, Pasal 7 ayat (1) UU Pilkada tidak konsisten dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya yang mengatur batas usia dewasanya seseorang. Padahal dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) telah mengatur syarat seseorang bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota adalah 21 tahun. Begitupun Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatakan bahwa setelah umur 21 tahun dianggap sudah dewasa.
Selain itu, menurut para Pemohon, Pasal 28J UUD 1945 memang memuat soal pembatasan dari hak warga negara dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Namun para Pemohon yakin bahwa pembatasan usia sebagai calon gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan/atau wakil walikota, tidak bisa dikategorikan ke dalam satupun alasan-alasan di atas. Para Pemohon pun menyadari bahwa setiap jabatan publik itu menuntut syarat kepercayaan masyarakat.
Lebih lanjut, Rian mengatakan, hak para Pemohon tersebut sejalan dengan prinsip dalam Universal Declaration of Human Rightsyang pada Pasal 21 ayat (1) yang menyatakan,“Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintah negerinya sendiri, baik secara langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas”. Serta Pasal 21 ayat (2) yang menyatakan,“Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya”.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Majelis Hakim menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan para Pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyampaikan bahwa para pemohon tidak perlu menambah dasar hukum di dalam permohonannya. Namun. pemohon perlu mengelaborasi hak konstitusional para pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU tersebut serta menjelaskan kedudukan hukum para pemohon. “Uraian tentang kedudukan hukum jangan dianggap sepele karena itu tidak dapat menyakinkan Mahkamah dan sodara tidak mampu menjelaskan bahwa anda memiliki kedudukan hukum, maka Mahkamah tidak memeriksa pokok permohonan,” ujar Palguna.
Hal yang sama dikatakan Hakim Konstitusi Saldi Isra yang menyarankan bahwa para pemohon perlu menjelaskan posisi masing-masing dari pemohon terkait dengan kedudukan hukum. Kemudian, Saldi mengatakan, para pemohon perlu memberikan basis argumentasi yang dipersoalkan dan dianggap bertentangan. Selain itu, para pemohon perlu mengelaborasi kaitan norma yang diujikan dengan berlakunya UU tersebut. Pemohon juga perlu melampirkan bukti pada permohonannya. Sedangkan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan bahwa identitas para pemohon harus diperbaiki.
Para pemohon diberi waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonannya dan batas akhir memperbaiki permohonannya pada 29 Oktober 2019 pada pukul 13.30 WIB. (Utami/LA)