TANGERANG, HUMAS MKRI - Nepal adalah negeri kecil majemuk yang diapit dua negara besar, India dan China sehingga membuat negara ini cenderung berhati-hati untuk memastikan peradilan yang dibentuk haruslah peradilan yang kuat. Konstitusi yang ada di Nepal sekarang adalah hasil dari konstitusi yang ke-7 dan selesai dirumuskan pada 2015. Setelah pemberontakan, Nepal membuat konstitusi sebagai bagian dari proses perdamaian. Hal ini disampaikan oleh Surya Dhungel dari Mahkamah Agung Nepal dan Profesor Universitas Kathmandu dalam “The 1st International Expert Meeting 2019” dengan tema “Peran Lembaga Peradilan Untuk Memajukan Keadilan Sosial serta Melindungi Hak Ekonomi dan Sosial” pada Sabtu (21/9/2019) di Serpong, Tangerang.
Lebih lanjut, Dhungel menjabarkan alasan negaranya memilih negara federal agar dapat membangun kekuasaan dan menyerahkan kewenangan terbesar pengelolaan negara pada tatanan bawah. Sehingga setiap orang berperan dalam kekuasaan negara karena mereka diberdayagunakan untuk membangun negara. Dalam hal pelaksanaan hukum dan peradilan, sambungnya, Nepal adalah negara yang menambahkan 17 ketentuan hak asasi manusia dari ketentuan HAM internasional dalam konstitusi terbarunya termasuk dengan memperluas hak-hak ekonomi sosial dan budaya.
Terkait dengan kewenangan peradilan di Nepal, Dhungel menyebutkan terdapat dua inovasi yang terjadi pada lembaga ini di negaranya. Pertama, perlu adanya lembaga bernama Mahkamah Konstitusi. Alasan dari rencana ini karena konstitusi yang ada di Nepal adalah konstitusi tertulis dan banyak pasal yang dibuat dari hasil peninjauan konstitusi negara lain serta bentuk negara berupa parlementer. Sehingga sebagian masyarakat dan bahkan partai politik mendorong untuk terbentuknya MK. Akan tetapi, sejak dikenalkannya sistem pemerintahan demokratis di Nepal maka peradilan menjadi lembaga independen yang tidak tersentuh lembaga eksekutif.
“Curiganya nanti MK yang dibentuk di negara ini adalah model Prancis, di mana hakim-hakimnya bisa diambil dari eksekutif. Jadi, jangan sampai ada partai politik yang mempengaruhi pembentukan dan mempengaruhi peradilan atau mengambil manfaat dairi itu,” jelas Dhungel di hadapan peserta diskusi hukum yang terdiri atas hakim konstitusi RI, hakim dan mantan hakim dari peradilan negara sahabat seperti India dan Australia.
Untuk meredam keinginan partai politik ini, maka peradilan Nepal membentuk Majelis Konstitusi yang berwenang memeriksa konstitusionalitas setiap aturan yang dibuat pembentuk undang-undang. Di samping itu, majelis ini juga bertugas menyelesaikan perselisihan antara negara-negara federal.
Inovasi kedua dalam peradilan adalah Nepal membentuk Panitia Peradilan Setempat yang dipimpin oleh wakil walikota. Perlu diketahui sebesar dari wakil walikota ini diduduki oleh perempuan. Hal ini terjadi karena dalam ketentuan Nepal bahwa apabila dalam sebuah kepemimpinan pemerintahan ketuanya dipimpin laki-laki, maka wakilnya haruslah perempuan. Sehingga, peluang perempuan untuk menduduki jabatan pemerintahan cukup besar. Bahkan, sambung Dhungel, dalam keanggotaan pada parlemen di Nepal, sebanyak 33% dari anggotanya harus perempuan. “Semua ketentuan ini sudah ditetapkan secara cukup tegas dalam konstitusi kami dan kami adalah negara yang cukup pro gender. Namun sayangnya hakim agung perempuan di Nepal masih sedikit,” terang Dhungel.
Tantangan
Selain itu, Dhungel juga menjelaskan Nepal memperbarui konstitusi adalah kebutuhan rakyat yang merasa perlu untuk merumuskan kembali hak-hak konstitusinya yang terlanggar. Apabila ada hak-hak konstitusi yang terlanggar, maka majelis konstitusi merumuskannya. Namun, jelas Dhungel, pada saat ini tantangan dari peradilan adalah kerentanannya terhadap politisasi atas penunjukan hakimnya. Pada masa awal, pemilihan hakim-hakim yang ada peradilan Nepal dilakukan dewan yang independen. Tetapi pada pelaksanaannya, nama-namam kandidat hakim tersebut diajukan kepada presiden dan diulas dalam parlemen. Akibatnya, dalam persidangan parlemen tersebut terjadi tawar-menawar di dalamnya. Sehingga keberadaan partai politik masuk dalam ranah kehakiman akan sangat berisiko bagi independensi lembaga peradilan ke depannya. “Bahwa politisi merasa mereka berada dikemudi neegara, jadi kami harus mengingatkan tindak-tanduk mereka. Jika kami yang ada di peradilan mengandalkan mereka mungkin kami akan kehilangan semangat konstitusi,” ujar Dhungel.
Dalam kegiatan yang digelar selama dua hari ini (20 – 21/9/2019) ini hadir sebagai pemateri yakni Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2013 – 2015 Hamdan Zoelva dan para narasumber dari negara sahabat, di antaranya Mantan Ketua Pengadilan Tinggi Australia Robert French, Universitas Johannesburg, Afrika Selatan Hennie Strydom, Hakim Mahkamah Agung India Indu Maholtra, dan Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Bosnia-Herzegovina Joseph Marko. (Sri Pujianti/LA)