JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu (18/9/2019). Sidang yang teregistrasi Nomor 50/PUU-XVII/2019 dan Nomor 51/PUU-XVII/2019 ini dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Manahan M.P. Sitompul.
Madsanih yang merupakan Ketua DPW Partai Bulan Bintang menjadi Pemohon perkara Nomor 50/PUU-XVII/2019. Viktor Santoso Tandiasa dan Yohanes Mahatma Pambudianto selaku kuasa hukum, Pemohon menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada yang berbunyi “Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Trakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum angka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan,” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.
Lebih lanjut, Viktor menjelaskan bahwa Pemohon sebagai kader PBB memiliki kesempatan untuk diusung sebagai calon kepala daerah dapal penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 2020 mendatang. Namun dengan adanya ketentuan norma tersebut yang memberikan syarat partai politik mendaftarkan pasangan calon harus memenuhi perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggoa DPRD di daerah yang bersangkutan. Sehingga, parpol harus menggabungkan diri kepada parpol lain agar dapat memenuhi ambang batas persyaratan tersebut.
”Persyaratan tersebut mengaibatkan Pemohon menjadi tidak mendapatkan kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah karena dalam proses politik penggabungan partai politik untuk memenuhi ambang batas, tentunya penentuan calon kepala daerah yang diajukan adalah kader dari parpol yang memiliki perolehan kursi yang paling besar di antara parpol yang ada dalam koalisi tersebut,” jelas Viktor.
Lebih lanjut, Yohanes menyebutkan bahwa persyaratan ambang batas parpol dalam kontestasi untuk mendapatkan kekuasaan di tingkat eksekutif tersebut, berangkat dari sistem penyelenggaraan pemilu presiden (pilpres) dengan basis konstitusional Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Menurut Pemohon, sistem ini diberlakukan untuk mendorong tercapainya keparalelan perolehan suara pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan perolehan suara partai politik pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden di DPR.
Selain itu, menurut Pemohon, ketentuan pasal yang diujikan seharusnya dipandang sama dengan ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang pada intinya tidak mensyaratkan adanya ambang batas untuk mencalonkan gubernur, bupati, dan walikota. Di samping itu, keberadaan kata “atau” pada UU Pemerintah Aceh yang tidak diikuti dengan adanya persyaratan perolehan dari jumlah kursi anggota dewan atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPRD.
“Sehingga hal ini memberikan pilihan bagi peserta pilkada incasu partai politik dalam mengajukan pasangan calon kepala daerah. Pilihannya adalah apakah partai tersebut memilih untuk mengususngkan sendiri pasangan calon kepala daerahnya atau memilih untuk bergabung dengan partai politik lain,” terang Aida Mardatillah selaku kuasa hukum Pemohon lainnya.
Beban Biaya
Pada sidang yang sama, MK juga menggelar sidang perkara Nomor 51/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan Muhammad Sholeh (Pemohon I) yang hendak mencalonkan diri sebagai Walikota Surabaya Periode 2020 – 2024 dan Ahmad Nadir (Pemohon II) yang ingin mencalonkan diri sebagai Bupati Gresik Periode 2020 - 2024.
Dalam perkara tersebut, para Pemohon juga menyatakan Pasal 40 ayat (1) huruf a, b, c, d, e; ayat (2) huruf a, b, c, d, e; ayat (3) dan ayat (4) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945. Singgih Tomi Gumilang selaku kuasa hukum menjelaskan, para Pemohon menyebutkan seharusnya syarat jumlah dukungan bagi calon kepala daerah perseorangan tidak boleh lebih berat daripada syarat parpol yang dapat mengajukan calon kepala daerah. Hal ini, sambung Singgih, agar tidak terjadi ketidakadilan. Karena bagi calon dari parpol biaya pengusungan diri dibebankan kepada APBN, sedangkan bagi calon perseorangan harus mengumpulkan sendiri pernyataan dukungan.
“Untuk itu Mahkamah harus membatalkan pasal-pasal a quo atau membuat keputusan konstitusional bersyarat yang memberikan dyarat dukungan dari partai politik dan jalur perseorangan yang tidak memberatkan pasangan calon pemilu kepala daerah,” jelas Singgih.
Alasan Mutlak
Menanggapi permohonan perkara Nomor 50/PUU-XVII/2019, Manahan menyampaikan pernyataan Pemohon yang berargumen persyaratan pengajuan calon anggota DPRD memberatkan akibat adanya norma a quo. Untuk itu, Manahan meminta agar Pemohon dapat menjelaskan alasan permohonan sehingga kedudukan hukum pihaknya sebagai anggota partai politik benar-benar terlihat sangat kesulitan memenuhi untuk pencalonan diri pada pilkada mendatang.
“Apakah alasan ini bersifat mutlak karena bagaimana jika hal ini terjadi pada partai besar? Bagaimana dengan partai kecil karena tidak mungkin dipersamakan antara pilres dan pilkada karena dalam pilkada itu sangat mungkin ada calon perseorangan seperti yang ada pada ketentuan UU Aceh. Maka, sebenarnya diprovinsi lain pun sebenarnya boleh ini diberlakukan,” terang Manahan.
Adapun terhadap Perkara Nomor 51/PUU-XVII/2019, Wahiduddin meminta agar para Pemohon tidak hanya memberikan gambaran hal-hal yang memberatkan berupa jumlah nominal biaya, tetapi hal-hal yang lebih bersifat konstitusional yang dapat saja dikuatkan dengan pernyatan-pernyataan biaya rill dari para calon yang telah selesai mengikuti pilkada yang lalu.
Kesempatan Koalisi
Selanjutnya, Aswanto memberikan nasihat terhadap Pemohon Perkara 50/PUU-XVII/2019 untuk menguraikan dasar pemikiran dari persyaratan ditentukan 20% perolehan kursi dan 25% perolehan suara dari ketentuan UU Pilkada tersebut. Menurut Aswanto, hal tersebut sebenarnya disadari pembuat UU untuk peroleh suara atau kursi bagi anggota dewan itu tidak mudah. Sehingga apabila tidak tercapai kuota yang dipersyaratkan maka dibuka kesempatan untuk berkoalisi.
“Maka kerugiannya perlu dielaborasi, bahwa pada praktiknya kalau tidak memenuhi, bisa berkoalisi. Coba elaborasi karena sebenarnya dengan syarat berat itu, justru norma ini menjamin hak warga negara,” jelas Aswanto.
Sebelum mengakhiri sidang, Aswanto meminta agar para Pemohon memperbaki permohonan dan menyerahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 1 Oktober 2019 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)