JAKARTA, HUMAS MKRI – Adanya perbedaan nomenklatur dan sifat Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dinilai melanggar hak konstitusional Badan Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota. Sejumlah ketua Bawaslu provinsi mengajukan uji materiil Pasal 1 angka 17, Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 24 UU Pilkada terkait perbedaan nomenklatur tersebut.
Pasal 1 angka 17 UU Pilkada
“Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Panwas Kabupaten/Kota adalah panitia yang dibentuk oleh Bawaslu Provinsi yang bertugas untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilihan di wilayah Kabupaten/Kota.”
Pasal 23 ayat (1) UU Pilkada
“(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemilihan dilaksanakan oleh Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS.”
Pasal 23 ayat (3) UU Pilkada
“Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, dan Panwas Kecamatan masing-masing beranggotakan 3 (tiga) orang.”
Pasal 24 UU Pilkada
(1) Panwas Kabupaten/Kota dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahapan persiapan penyelenggaraan Pemilihan dimulai dan dibubarkan paling lambat 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilihan selesai.
(2) Panwas Kabupaten/Kota dibentuk dan ditetapkan oleh Bawaslu Provinsi.
(3) Penetapan anggota Panwas Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah melalui seleksi oleh Bawaslu Provinsi.
Veri Junaidi ditunjuk mewakili Ketua Bawaslu Provinsi Sumatra Barat Surya Efitrimen, Ketua Bawaslu Kota Makassar Nursari, dan Anggota Bawaslu Kabupaten Ponorogo Sulung Muna Rimbawan selaku Pemohon Perkara Nomor 48/PUU-XVII/2019 tersebut. Dalam sidang perdana yang digelar pada Selasa (17/9/2019) tersebut, Veri menyebut pasal-pasal yang diujikan mengancam kedudukan Pemohon sebagai penyelenggara pemilu dalam mengemban tugas dan amanahnya.
“Secara faktual, pasal-pasal a quo dapat mengancam kedudukan para Pemohon sebagai penyelenggara pemilihan umum. Pemohon secara faktual berpotensi tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan pelaksanaan pemilihan kepala daerah karena desain kelembagaan yang dipersayaratkan UU a quo adalah Bawaslu RI/Provinsi membentuk suara lembaga yang dinamakan panitia pengawas pemilihan (panwaslih) yang bersifat baru dan berbeda secara kelembagaan dengan Bawaslu Kabupaten/Kota yang sudah berkedudukan permanen berdasarkan UU Pemilu,” ujar Veri di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto tersebut.
Selain itu, Pemohon mendalilkan bahwa desain kelembagaan penyelenggara pemilihan kepala daerah khususnya dalam fungsi pengawasan menjadi tugas dan wewenang tambahan Bawaslu RI dan Bawaslu provinsi sebagai penyelenggara pemilu. Kemudian, UU Pilkada mensyaratkan pembentukan pengawas pada tingkat kabupaten dan kota untuk dibentuk suatu panitia pengawas pemilihan (Panwas) yang kedudukannya bersifat sementara.
“Secara a contrario dibandingkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mendesain kelembagaan pengawas Pemilihan Umum pada level kabupaten/kota sudah dibentuk secara permanen, tentu norma-norma dalam UU yang sedang dimohonkan pengujian mengalami kemunduran dan tidak sesuai dengan prinsip pemilihan umum yang berlaku secara universal,” terang Veri.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan frasa “Panwas Kabupaten/Kota” dalam pasal-pasal a quo dimaknai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten/Kota.
Persoalkan Jumlah Anggota
Pemohon juga merasa dirugikan terkait jumlah anggota Bawaslu sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 ayat (3) UU Pilkada yang hanya berjumlah tiga orang. Pemohon mendalilkan pada Pemilu Serentak 2019 telah dilantik anggota Bawaslu Provinsi/Kabupate/Kota berjumlah lima orang. Pengurangan tersebut bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil.
“Hal ini karena potensial menghilangkan hak konstitusional Para Pemohon yang telah dilantik sebagai komisioner Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,” ujar Veri.
Untuk itu, Pemohon meminta agar MK menyatakan frasa “masing-masing beranggotakan 3 (tiga) orang” konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai sama dengan jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud UU Pemilu.
Saran Perbaikan Permohonan
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna selaku Anggota Panel Hakim memberikan saran perbaikan mengenai substansi permohonan. Ia meminta Pemohon merenungkan kembali mengenai Pilkada sebagai rezim pemilu atau bukan. “Jika memang rezim pemilu, maka permohonan Pemohon ada rasionalitasnya karena memang harus ada harmonisasi antara dua jenis tugas yang sama,” ujarnya
Sementara Wakil Ketua MK Aswanto meminta agar Pemohon mengelaborasi lebih lanjut mengenai kerugian hukum. Menurutnya, kerugian hukum Pemohon belum terlihat jelas dalam permohonan. Selain itu, ia meminta agar Pemohon menguraikan pasal-pasal terkait keanggotaan Bawaslu Kabupaten/Kota.
Pemohon diberikan waktu selama 14 hari kerja oleh Panel Hakim untuk memperbaiki permohonan. Perbaikan ditunggu hingga tanggal 30 September 2019 pukul 10.00 WIB. (Lulu Anjarsari/NRA).