JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (10/9/2019). Pemohon Perkara Nomor 44/PUU-XVII/2019 ini adalah Andi alias Aket bin Liu Kim Liong yang menguji Pasal 132 Ayat (1) UU Nomor 35/2009.
Pasal 132 Ayat (1) UU a quo berbunyi, “Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129, pelakunya dipidana dengan pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut.”
Beni Dikty Sinaga selaku kuasa hukum Pemohon menerangkan, kedudukan dan hak konstitusional Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana pemufakatan jahat tanpa hak atau melawan hukum sebagai perantara dalam jual-beli atau menerima narkotika golongan I berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor 109/PID/2018/PT BTN tanggal 9 Januari 2019, dengan amar putusan yangintinya menjatuhkan hukuman mati kepada Pemohon.
Akibat diberlakukan Pasal 132 ayat (1) UU Nomor 35/2009, menurut Pemohon, menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum yang merugikan hak dan kewenangan konstitusi publik, termasuk Pemohon.
“Hal yang tidak dapat disangkal adalah fakta bahwa norma Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 diundangkan oleh para penyelenggara negara dengan tujuan agar tindak pidana percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan pelaku narkotika disamakan penjatuhan pidananya dengan tindak pidana sempurna. Hal tersebut jelas berakibat timbulnya ketidakadilan dan ketidakpastian hukum sehingga merugikan hak dan kewenangan konstitusi publik, termasuk Pemohon,” urai Beni kepada Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Dengan demikian, kata Beni, Pemohon memiliki kedudukan hukum dalam permohonan uji materiil Pasal 132 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 yang menurut Pemohon tidak memberikan jaminan kepastian hukum.
Mengenai alasan permohonan, sambung Beni, pertama frasa “pidana penjara” dalam Pasal 132 ayat (1) UU Nomor 35/2009 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena menimbulkan ketidakpastian hukum. Pemberlakuan Pasal 132 ayat (1) UU Nomor 35/2009 telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Pemohon, mengingat tidak adanya tafsir yang jelas terhadap frasa “pidana penjara” pada pasal a quo.
Dikatakan Beni, atas diberlakukannya Pasal 132 ayat (1) UU Nomor 35/2009 juga telah menimbulkan ketidakadilan hukum yang merugikan hak dan kewenangan konstitusi Pemohon, dimana Pemohon dijatuhi hukuman mati atau tindak pidana pemufakatan jahat tanpa hak atau melawan hukum dalam hal menjadi perantara dalam jual-beli atau menerima narkotika golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009. Bahwa pidana penjara merupakan salah satu jenis pidana yang terdapat dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Hal mana tertera dalam ketentuan Pasal 10 KUHP. “Namun frasa pidana penjara telah diartikan secara keliru oleh sebagian penegak hukum seperti hakim dan jaksa, setidak-tidaknya dalam kasus yang dialami oleh Pemohon,” tegas Beni.
Sistematika Permohonan
Terhadap dalil-dalil Pemohon, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengomentari sistematika permohonan Pemohon. “Sistematikanya sudah cukup mendekati. Hanya mungkin, yang harus dipertegas adalah persoalan argumen. Bahwa Anda mendalilkan kerugian konstitusionalitas Anda, tapi sesungguhnya Anda tidakmenyeimbangkan dengan perbuatan yang dilakukan oleh Prinsipal Anda. Kalau keinginan Prinsipal ini kemudian bisa dipenuhi oleh Mahkamah, apakah perbuatan yang secara substansial dilakukan oleh Prinsipal Anda itu, barang buktinya berapa kwintal, berapa ratus kilo? Masih ingat?” ujar Suhartoyo.
Sementara itu Hakim Konstitusi Arief Hidayat lebih menyoroti sisi pengujian undang-undang. “Dari sisi kelengkapan sebagai permohonan judicial review, saya melihat di bagian legal standing perlu dipertajam letak kerugian konstitusional Pemohon. Sehingga kita bisa berpendapat atau bisa menyimpulkan memang ada kerugian konstitusional,” ucap Arief.
Panel Hakim pun memberikan waktu selama 14 hari kerja kepada Pemohon untuk melakukan perbaikan. (Nano Tresna Arfana/LA)