JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) mengelar sidang uji penggunaan frasa dan kata pada penyusunan UUD dan peraturan perundangan, pada Selasa (10/9/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan diajukan oleh Suharjo Triatmanto. Sidang perkara yang teregistrasi dengan Nomor 43/PUU-XVII/2019 ini dipimpin Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dengan didampingi Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Arief Hidayat.
Dalam permohonan, Suharjo yang hadir tanpa didampingi pengacara menjelaskan dirinya risau dengan penyusunan dan pembuatan aturan perundang-undangan yang tidak berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Padahal keberadaan lembaga pemerintah penyusun dan pembuat KBBI telah memiliki legalitas hukum. Peraturan perundang-undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata bahasa Indonesia.
Menurut Suharjo, ada beberapa kata yang digunakan dalam penyusunan berbagai produk hukum tertulis yang memiliki makna dan arti sangat jauh dari maksud dan pengertian yang diinginkan. Sehingga, sambung Suharjo, terdapat makna ganda atau bahkan makna yang tidak sama dengan yang dimaksud oleh penyusun dan pembuat peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh Suharjo menyebutkan penggunaan kata “ayat” menurut KBBI berarti alamat atau tanda; beberapa kalimat yang merupakan kesatuan maksud sebagai bahan surah dalam kitab suci; beberapa kalimat yang merupakan kesatuan maksud sebagai bagian pasal dalam undang-undang. Berdasarkan pandangan Suharjo, apabila kata “ayat” dipakai untuk menyusun peraturan perundangan maka arti dari kata “ayat” tersebut merujuk pada makna beberapa kalimat yang merupakan kesatuan maksud sebagai bagian pasal dalam undang-undang.
“Tapi, dalam penyusunan dan pembuatan peraturan perundangan, para penyusun dan pembuatnya tidak memberikan keterangan apakah arti kata “ayat” tersebut mempunyai arti yang dimaksud karena menurut KBBI kata “ayat” mempunyai tiga makna kata berbeda,” urai Suharjo yang mengaku berprofesi sebagai ahli nuklir.
Objek Tidak Jelas
Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan dirinya bingung dengan permohonan yang diajukan Pemohon. Menurut Arief, MK adalah lembaga yang berhak melakukan pengujian produk hukum UU untuk dinilai bersesuaian dengan UUD 1945 atau tidak, sedangkan jika Pemohon menginginkan pengujian aturan di bawah UU, maka pengujiannya dapat dimohonkan ke Mahkamah Agung. Untuk itu, Pemohon harus benar-benar dapat menjelaskan keinginan yang hendak dicapai dari pengajuan permohonan ini. “Dari permohonan ini kita tak menangkap UU yang diujikan. Kami melihat ini bukan pengujian UUD karena objeknya saja yang UUD. Perlu diketahui juga bahwa MK bertugas menjaga UUD, jika ada UU yang dibuat tidak koheren dengan UU maka itu tugas lembaga ini,” sampai Arief.
Di sampimg itu, Arief pun menilai dalam uraian legal standing tidak dijelaskan idensitas Pemohon secara jelas. Apakah diajukan atas nama perorangan atau pihak mana sehingga berkaitan erat dengan hak konstitusional yang terlanggar untuk selanjutnya harus diuraikan dalam kedudukan hukumnya tersebut.
Senada dengan Arief, Hakim Konstitusi Palguna pun kebingungan dengan pengujian yang disampaikan Pemohon. Dalam pandangan Palguna, apabila Pemohon ingin mengajukan perbaikan tata bahasa atau konstitusionalitas UU maka MK bukanlah lembaga yang berwenang melakukan perbaikan tata bahasa. “Kalaupun mau memperbaiki tata bahasa yang terkait dengan bahasa hukum hal ini juga tidak bisa diajukan karena bahasa hukum itu punya ragam bahasanya sendiri,” jelas Palguna.
Adapun jika Pemohon ingin melakukan pengujian UU terhadap UUD 1945, maka Pemohon harus memenuhi syarat dan ketentuan serta sistematika permohonan dan hukum acara di MK. Sehingga Palguna meminta Pemohon untuk mempertegas kategori dirinya apakah ingin mangujuan pengujian UU atau hal lainnya.
Mendapati kebingungan ini, Manahan pun meminta agar Pemohon benar-benar mempelajari dengan saksama format permohonan yang pernah diajukan berbagai pihak ke MK. Selain itu, Manahan juga meminta agar Pemohon melakukan konsultasi dengan pakar hukum untuk membantu dirinya dalam menyelesaikan perbaikan permohonan sehubungan dengan terlanggarnya hak konstitusionalnya oleh berlakunya sebuah ketentuan UU.
Sebelum menutup persidangan, Manahan menyampaikan bahwa Pemohon diberikan keleluasaan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki dan menyempurnakan permohonan. Kemudian selambat-lambatnya perbaikan tersebut dapat diserahkan pada Senin, 23 September 2019 pukul 11.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/NRA).