JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Anggota DPD 2019, Kamis (18/7). Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku Termohon, pada sidang kali ini menjawab dalil Pemohon yang mempermasalahkan editan foto di kertas suara calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Sidang ini digelar di Panel 3 bertempat di Ruang Sidang Lantai 4. Dalam panel ini, majelis hakim terdiri atas Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Hakim Konstitusi Suhartoyo, serta Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams
Sebelumnya Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Farouq Muhammad dalam perkara Nomor 03-18/PHPU-DPD/XVII/2019 mempersoalkan masalah foto calon Anggota DPD Evi Apita Maya. Farouq mendalilkan foto Evi di kertas suara merupakan hasil editan.
Tindakan yang dilakukan Evi menurut Pemohon telah mempengaruhi pilihan masyarakat. Padahal Evi menurut Pemohon, tidak maksimal dalam kampanye di daerah terpencil. Pengaruh foto editan itu membuat Evi lolos menjadi anggota DPD dengan suara terbanyak sebesar 283.932. Pemohon menuduh Evi melanggar Pasal 65 ayat (1) huruf j Peraturan KPU RI Nomor 30 Tahun 2018. Intinya aturan ini mengenai penggunaan foto lama lebih dari 6 bulan.
Selain foto Evi, Pemohon juga mempermasalahkan foto saingan lainnya yakni Lalu Suhaimi Ismy. Pemohon menyebut Suhaimi memakai foto lama yang sama dengan saat dia maju DPD periode 2014 – 2019. Tindakan ini juga melanggar Pasal 65 ayat (1) huruf j Peraturan KPU RI Nomor 30 Tahun 2018.
Pemohon pun menuding KPU melakukan tindakan yang salah karena menetapkan keduanya lolos menjadi peserta calon anggota DPD. Atas dasar ini, Pemohon meminta MK membatalkan keputusan KPU terkait penetapan daftar calon tetap perseorangan anggota DPD atas nama Evi Apita Maya dan Lalu Suhaimi Ismy.
Menanggapi dalil tersebut, KPU (Termohon) melalui kuasa hukum Rio Rachmat Effendi menyatakan MK mestinya menolak permohonan Pemohon. Sebab apa yang diajukan Pemohon dalam petitum untuk mendiskualifikasi kedua calon DPD tersebut bukan merupakan wewenang MK.
“MK mengurusi perselisihan suara dalam pemilu. Sedangkan pelanggaran administratif masuk dalam ranah kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu),” tegasnya.
Pemohon, kata dia, hanya mendalilkan pelanggaran administrasi, pelanggaran pemilu, serta penggelembungan suara tanpa menguraikan secara detail. Ini semakin memperkuat alasan mengapa MK harus menolak permohonan ini.
Rio juga menyatakan Permohonan Pemohon tidak sesuai dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2018 tentang Tata Cara Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Yakni Permohonan Pemohon tidak ditandatangani kuasa hukumnya.
Adapun Evi Apita Maya selaku Pihak Terkait melalui kuasa hukum D.A Malik yang mewakili Evi Apita Maya menyebut permohonan kabur (obscuur libel). Sebab Pemohon tidak memuat secara tegas mengenai hasil perhitungan suara versi Termohon untuk dipaparkan dalam permohonan. Juga terdapat inkonsistensi dalam mengkonstruksikan dalil posita dan petitum di permohonan ini.
Malik kemudian mengacu pada Pasal 182 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dimana dari 18 syarat pencalonan DPD tidak ada aturan mengenai syarat pas foto.
“Sebelum naik cetak, ada proses verifikasi administrasi terkait kertas suara. Dimana semua calon DPD diminta mengecek dan jika setuju kemudian ditandatangani. Kenapa justru baru sekarang hal ini dipermasalahkan?,” jelasnya.
Panel 3 juga menggelar sidang PJPU yang diajukan oleh Partai Nasional Demokrat (NasDem) dalam perkara Nomor 191-05-18/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019. Dalam permohonannya NasDem mempermasalahkan suara partai di Kabupaten Bima. Ini terkait pengisian kursi DPRD untuk Daerah Pilihan (Dapil) 6 Kabupaten Bima. Partai Nasdem mengklaim mendapat 8.648 suara namun versi Termohon 8.645 suara. Sementara Partai hati Nurani Rakyat (Hanura) memperoleh kenaikan dari 2.876 suara menjadi 2.914.
Menanggapi ini, kuasa hukum KPU (Termohon) Dipo Lukmanul Akbar menyatakan Permohonan Pemohon kabur. Yakni tuduhan menyangkut penggelembungan suara.
“Pemohon keliru membaca formulir C1 dan DAA1. Pemohon juga tidak mengetahui apakah formulir tersebut benar datanya ataukah hanya kesalahan pencatatan data. Jika salah pencatatan data, apakah sudah dikoreksi saat rekapitulasi tingkat PPS dan PPK,” jelasnya. Atas dasar inilah, kata dia, Pihak Terkait meminta MK untuk menolak permohonan seluruhnya.
Sidang hari ini juga digelar untuk perkara PHPU lainnya dari provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Yakni perkara Nomor 179-04-18/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 yang diajukan Partai Golongan Karya (Golkar) serta perkara Nomor 56-14-18/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 yang diajukan Partai Demokrat. (Arif Satriantoro/NRA/RD)