JAKARTA, HUMAS MKRI – Peran negara dalam memberikan perlindungan jaminan fidusia untuk kedua belah pihak dapat dilakukan dengan membuat perjanjian di hadapan notaris atau melalui akta notaris. Hal tersebut disampaikan Aria Suyudi selaku Ahli yang dihadirkan Pemerintah dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (13/5/2019).
“Peran negara berjalan lebih jauh dalam bentuk harus pakai akta notaris. Akta notaris ini sangat kuat karena fungsinya kan, tidak hanya sekadar membuat formulir perjanjian, namun juga harusnya dia membacakan, dia memberikan advice apabila memang kedua belah pihak sampai tidak bisa memahami isinya. Jadi, itu peran negara di situ,” tegas pendiri Pusat Studi Hukum dan Konstitusi tersebut.
Dalam keterangannya sebagai Ahli Pemerintah, Aria juga menjelaskan mengenai bahwa dalam UU Jaminan Fidusia tidak dibahas sama sekali mengenai cedera janji, kecuali dalam Pasal 21. Namun praktiknya, dalam dunia usaha, pelaksanaan ini tunduk pada 1238 KUH Perdata yang mendefinisikan cedera janji dinyatakan dengan lalai, dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan itu sendiri. “Jadi, dalam praktiknya dapat melalui notifikasi atau tanpa notifikasi apabila sudah diperjanjikan sebelumnya. Sehingga, cukup sumir masalah cedera janji ini,” urai Aria terhadap perkara yang teregistrasi Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan Aprilliani Dewi dan Suri Agung Prabowo.
Selanjutnya terkait dengan mekanisme parate eksekusi yang merupakan penarikan hak untuk mengambil pelunasan tanpa putusan pengadilan yang di alami Pemohon, Aria menyampaikan bahwa di Indonesia belum diatur secara spesifik kendala dalam parate eksekusi ini. Adapun dalam Pasal 30 UU Jaminan Fidusia disebutkan bahwa pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Namun, jelasnya, pada penjelasan pasal tersebut ada kalimat “boleh minta bantuan pihak berwenang”.
“Sehingga tidak ada aturan yang menjelaskan lebih lanjut, meskipun ada Perkapolri Nomor 8 Tahun 2011, namun hanya berada dibelakang dan penarikan tetap menjadi urusan kreditur masing-masing. OJK pun mengatur agar penarikan sebuah jaminan berlangsung tertib. Namun, permasalahan kembali pada aturan yang sumir dan hanya berlaku bagi perusahaan pembiayaan. Sedangkan, yang memberikan pinjaman tidak hanya perusahaan pembiayaan, tetapi juga perbankan dan individu,” jelasnya.
Jaminan Eksekusi
Akhmad Budi Cahyono selaku Ahli Pemerintah berikutnya menjelaskan bahwa perjanjian fidusia bukanlah perjanjian yang berdiri sendiri, tetapi keberadaannya tergantung dari perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokoknya. Sebagai sebuah perjanjian ikutan, keberadaan jaminan fidusia terlebih dahulu diperjanjikan dalam perjanjian pokoknya guna memberikan keyakinan dan kepastian hukum bagi kreditur akan pengembalian pinjaman yang menjadi kewajiban debitur. Dengan demikian, pemberian jaminan oleh debitur merupakan kontraprestasi atas kewajiban kreditur memberikan pinjaman. Sehingga dapat tercipta pertukaran yang adil yang bersifat fundamental dalam hukum perjanjian yang bersifat timbal balik sebagai pelaksanaan prinsip iktikad baik yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Tanpa adanya jaminan, maka kreditur akan sulit mendapatkan haknya sesuai dengan perjanjian. Sementara debitur telah mendapatkan haknya berupa pinjaman yang diberikan oleh kreditur. Hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip pertukaran yang adil. Guna menjamin adanya pertukaran adil dalam perjanjian pinjam-meminjam, maka kreditur memerlukan jaminan terhadap pelunasan kewajiban debitur. Jaminan tersebut menjadi hanya efektif jika kreditur memiliki kemudahan dalam melakukan eksekusi.
“Oleh karenanya, ciri umum jaminan khusus kebendaan yang didasarkan pada perjanjian adalah kemudahan dalam melakukan eksekusi dalam hal debitur wanpresitasi. Hal tersebut berlaku, baik terhadap jaminan gadai, fidusia, hipotek, dan hak tanggungan. Eksekusi diperlukan guna menjamin pelaksanaan prestasi debitur sebagaimana yang telah diperjanjikan dalam perjanjian pokoknya berupa perjanjian pinjam-meminjam. Disebabkan jaminan khusus kebendaan termasuk fidusia diberikan oleh debitur kepada kreditur sesukarela dalam melalui perjanjian, maka kemudahan eksekusi merupakan bentuk pelaksanaan iktikad baik debitur dalam melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya,” urai Akhmad.
Melawan Hukum
Sutan Remy Sjahdeini yang dihadirkan MK selaku Ahli dalam pendapatnya menyampaikan bahwa sebelum nerlakunay UU Jmaninan Fidusia pada kalangan perbankan jaminan fidusia terbatas pada benda bergerak. Tetapi setelah adanya UU Jaminan Fidusia, maka diperluas pada benda tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud. Hal ini, lanjutnya, sebagai sebuah hal yang menggembirakan bagi dunia perbankan. Terkait dengan bank sebagai penerima fidusia yang dapat melakukan eksekusi terhadap jaminan fidusia dengan kuasa sendiri seperti mengeksekusi putusan hakim yang telah inkracht, Remy berpendapat apabila suatu benda telah diserahkan sukarela oleh pemberi fidusia, maka dapat pula dilaksanakan dengan kekuasaan sendiri sebuah proses eksekusi tanpa harus minta putusan hakim. Namun, apabila terjadi sengketa bank tidak dapat mengambil sebuah jaminan fidusia yang telah ditegaskan dengan putusan hakim yang sudah inkracht.
“Jadi apabila dikaitkan dengan pasal yang dipersoalkan bertentangan dengan UUD 1945, hal ini tidak bertentangan. Hanya saja dalam praktik bank saja yang merupakan perbuatan melawan hukum. Bahwa apalagi di dalam kasus ini sudah ada putusan pengadilan sebelumnya, maka menurut saya bank melakukan perbuatan melawan hukum,” jelas pakar dunia perbankan dan masalah fidusia.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalikan Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Dalam kasus konkret pihaknya telah mengalami tindakan pengambilan paksa mobil Toyota Alphard V Model 2.4 A/T 2004 oleh PT Astra Sedaya Finance (PT ASF). Sebelumnya, Pemohon telah melakukan Perjanjian Pembiayaan Multiguna atas penyediaan dana pembelian satu unit mobil mewah tersebut. Sesuai perjanjian yang telah disepakati, Pemohon berkewajiban membayar utang kepada PT ASF senilai Rp222.696.000 dengan cicilan selama 35 bulan dengan terhitung sejak 18 November 2016. Selama 18 November 2016 - 18 Juli 2017 Pemohon telah membayarkan angsuran secara taat. Namun, pada 10 November 2017, PT ASF mengirim perwakilan untuk mengambil kendaraan Pemohon dengan dalil wanprestasi. Atas perlakuan tersebut Pemohon mengajukan surat pengaduan atas tindakan yang dilakukan perwakilan PT ASF. Namun tidak ditanggapi hingga pada beberapa perlakuan tidak menyenangkan selanjutnya.
Menerima perlakuan tersebut, Pemohon berupaya mengambil langkah hukum dengan mengajukan perkara ke Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan pada 24 April 2018 dengan gugatan perbuatan melawan hukum dengan nomor registrasi perkara 345/PDT.G/2018/PN.jkt.Sel. Pengadilan pun mengabulkan gugatan Pemohon dengan menyatakan PT ASF telah melakukan perbuatan melawan hukum. Namun pada 11 Januari 2018, PT ASF kembali melakukan penarikan paksa kendaraan Pemohon dengan disaksikan pihak kepolisian. Atas perlakuan paksa tersebut, Pemohon menilai PT ASF telah berlindung di balik pasal yang diujikan pada perkara a quo. Padahal lagi, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut berkedudukan lebih tinggi dari UU a quo. Dengan demikian, para Pemohon pun berpendapat bahwa tidak ada alasan paksa yuridis apapun bagi pihak PT ASF untuk melakukan tindakan paksa termasuk atas dasar Pasal a quo. (Sri Pujianti/LA)